Baca Juga
Menelaah dan memahami pengertian keadilan memang tidak
begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang
pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah
semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para
pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam
tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat
yang paling dalam.[1]
Berikut ini beberapa pengertian keadilan menurut para filsofdan para ahli hukum:
a. Plato, menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum
dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal
itu.[2] Untuk istilah keadilan ini Plato menggunakan kata yunani”Dikaiosune”
yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan sosial.[3]
Penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar
kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan
didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil
menyangkut relasi manusia dengan yang lain.[4]
b. Aristoteles, adalah seorang filosof pertama kali yang
merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus.[5]
Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu:[6] Pertama,
keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat
undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi
anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua,
keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi
ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya
diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan
milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya
yang hilang atau kata lainnya keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan
besarnya jasa yang diberikan, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan
berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan.
c. Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga
digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama
kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya
mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma “adil” hanya kata
lain dari “benar”.[7]
d. Jhon Rawls, Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu
upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara
konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung
asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk
mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan
yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental
bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.[8]
e. Soekanto, menyebut dua kutub citra keadilan yang harus
melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil.
Pertama, Naminem Laedere, yakni "jangan merugikan orang lain", secara
luas azas ini berarti " Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah
menyebabkan orang lain mengalaminya". Kedua, Suum Cuique Tribuere, yakni
"bertindaklah sebanding". Secara luas azas ini berarti "Apa yang
boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya". Azas
pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas
pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang diarahkan pada
penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.[9]
Terlepas dari beberapa pendapat dari para ahli di atas maka
perlu diambil benang merah tentang teori keadilan tersebut, agar pertanyaan apa
itu keadilan dapat dijawab dengan gamblang dan komplit serta universal.
Keadilan baru dapat dikatakan bersifat universal jika dapat mencakup semua
persoalan keadilan sosial dan individual yang muncul. Universal dalam
penerapannya mempunyai arti tuntutan-tuntutannya harus berlaku bagi seluruh
anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam arti harus menjadi prinsip yang
universalitas penerimaannya dapat dikembangkan seluruh warga masyarakat.
Agar dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga
masyarakat, maka prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan dimengerti
setiap orang. Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan
mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus
mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan
masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan
menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata "setuju",
tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung
isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut.[10]
Selanjutnya dalam konteks filsafat hukum, penganut paradigma
Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dengan prinsip keadilan,
sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hukum alam primer yg bersifat umum
menyatakan:Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique
suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga
menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia,
tetapi oleh alam.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai
tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari
keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur
kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa
injuria; summa lex, summa crux. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa
hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat
secara luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah
seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa
yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif
ekonomi.[11]
----------------------
[1] Angkasa, Filsafat Hukum ( Materi Kuliah ), (Purwokerto:
Universitas Jenderal Soedirman, 2010), hal. 105.
[2] Dominikus Rato, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan
Memahami Hukum, (Surabaya: LaksBang Yustisia, 2010), hal. 63.
[3] Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Ciawi-Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), hal.92
[4] James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2010), hal. 5.
[5] Dominikus Rato, Op.Cit., hal.64.
[6] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan
Pemaknaan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), hal. 47-48.
[7] Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Penerbit
Nusa Media, 2010), hal.48.
[8] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan,
(Jakarta: Buku Kompas, 2007), hal 20.
[9] Abdul Ghofur Anshori Filsafat Hukum….., Op.Cit., hlm.
51.
[10] Ibid., hlm. 51-52.
[11] E. Fernando M. Manullang, Op.Cit., hal. 109.