Baca Juga

Istilah kebijakan (policy) seringkali penggunaanya dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goal), program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan besar. Bagi para pembuat kebijakan (Policy Makers) istilah-istilah tersebut tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena mereka menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang berada di luar struktur pengambilan kebijakan istilah-istilah tersebut mungkin akan membingungkan.

Syafiie (2006:104), mengemukakan bahwa kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijakan (wisdom) karena kebijakan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person pejabat yang berwenang. Untuk itu Syafiie mendefenisikan kebijakan publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah.

Keban (2008:55), memberi pengertian dari sisi kebijakan publik, yang dikutipnya dari pendapat Graycar, dimana menurutnya bahwa; "Public Policy dapat dilihat dari konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja". Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan, sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu proses, kebujakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya, yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya, dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumus isu-isu dan metode implementasinya.

Kamus besar bahasa indonesia kebijakan dijelaskan sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tentang perintah organisasi dan sebagainya). Mustopadidjaja (1992:30) menjelaskan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan. Hal ini senada dengan David Easton dan Toha (2010:107), merumuskan sebagai berikut: "The authoritative allocation of value the whole society but it turns out that only government can authoritatively act on the whole society, and everything the government choosed to do or not to do results in the allocationof values" dalam artian bahwa kebijakan pemerintah sebagai alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat sehingga semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil alokasi nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Koontz dan O'Donnel (1972:113), mendefenisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian yang memandu pikiran dalam pembuatan keputusan

Sedangkan menurut Anderson (1984:113), kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya Anderson (1984:113), mengklasifikasi kebijakan, policy menjadi dua: subtantif dan prosedural. Kebijakan subtantif yaitu apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan. Ini berarti, Kebijakan Publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.

Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat lima hal yang berhubungan dengan kebijakan publik. Pertama, tujuan atau kegiatan yang berorientasi tujuan haruslah menjadi perhatian utama perilaku acak atau peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Kedua, kebijakan merupakan pola model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-keputusan diskresinya secara terpisah. Ketiga, kebijakan harus mencakup apa yang nyata pemerintah perbuat, atau apa yang mereka katakan akan dikerjakan. Keempat, bentuk kebijakan publik dalam bentuknya yang positif didasarkan pada ketentuan hukum dan kewenangan. Tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui produk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Setiap produk kebijakan haruslah memperhatikan subtansi dari keadaan sasaran, melahirkan sebuah rekomendasi yang memperhatikan bebagai program yang dapat dijabarkan dan diimplementasikan sebagaimana tujuan dari kebijakan tersebut. Untuk melahirkan sebuah produk kebijakan, dapat pula memahami konsepsi kebijakan, menurut Abdul Wahab yang dipertegaskan oleh Budiman Rusli (2000:51-52), dimana lebih jauh menjelaskan sebagai berikut:
  1. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan. Paling tidak ada tiga perbedaan mendasar antara kebijakan dengan keputusan yakni:
    • Ruang lingkup kebijakan jauh lebih besar dari pada keputusan
    • pemahaman terhadap kebijakan yang lebih besar memerlukan penelaahan yang mendalam terhadap keputusan
    • Kebijakan biasanya mencakup upaya penelusuran interaksi yang berlangsung diantara begitu banyak individu, kelompok dan organisasi.
  2. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi. Perbedaan antara kebijakan dengan administrasi mencerminkan pandangan klasik. Pandangan klasik tersebut kini banyak dikritik, karena model pembuatan kebijakan dari atas misalnya, semakin lama semakin tidak lazim dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Pada kenyataannya, model pembuatan kebijakan yang memadukan antara top-down dengan bottom-up menjadi pilihan yang banyak mendapat perhatian dan pertimbangan yang realistis.
  3. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi. Langkah pertama dalam menganalisis perkembangan kebijakan negara ialah perumusan apa yang sebenarnya diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Pada kenyataannya cukup sulit mencocokknan antara perilaku yang senyatanya dengan harapan para pembuat keputusan.
  4. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan. Perilaku kebijakan mencakup pula kegagalan melakukan tindakan yang tidak disengaja, serta keputusan untuk tidak berbuat yang disengaja (dileberate decisions not to act). Ketiadaan keputusan tersebut meliputi juga keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang yang secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja menciptakan atau memperkokoh kendala agar konflik kebijakan tidak pernah disingkap dimata publik.
  5. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai, yang mungkin sudah dapat diantisipasikan. Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pengertian kebijakan perlu pula kiranya meneliti dengan cermat, baik hasil yang diharapkan ataupun hasil yang senyatanya dicapai. Hal ini dikarenakan, upaya analisis kebijakan yang sama sekali mengabaikan hasil yang tidak diharapkan (unintented result) jelas tidak akan dapat menggambarkan praktik kebijakan yang sebenarnya.
  6. Kebijakan kebanyakan didefenisikan dengan memasukkan perlunya setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu baik secara eksplisit atau implisit. Umumnya, dalam suatu kebijakan termasuk tujuan atau sasaran tertentu yang telah ditetapkan jauh hari sebelumnya, walaupun tujuan dari suatu kebijakan itu dalam praktiknya mungkin saja berubah atau dilupakan paling tidak secara sebagian.
  7. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu. Kebijakan itu sifatnya dinamis, bukan statis. Artinya setelah kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu diimplementasikan, akan memunculkan umpan balik dan seterusnya.
  8. Kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antara organisasi ataupun yang bersifat intra organisasi. Pernyataan ini memperjelas perbedaan antara keputusan dan kebijakan, dalam arti bahwa keputusan mungkin hanya ditetapkan oleh dan melibatkan suatu organisasi, tetapi kebijakan biasanya melibatkan berbagai macam aktor dan organisasi yang setia bekerja sama dalam suatu hubungan yang kompleks.
  9. Kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga pemerintahan, walaupun tidak secara ekslusif. terhadap kekaburan antara aktor publik dengan sektor swasta, disini perlu ditegaskan bahwa sepanjang kebijakan itu pasa saat perumusannya diproses, atau setidaknya disahkan atau diratifikasikan oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka kebijakan tersebut disebut kebijakan negara.
  10. Kebijakan dirumuskan atau didefenisikan secara subyektif. Hal ini berarti pengertian yang bermaktub dalam istilah kebijakan seperti proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan serta hasil akhir suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh orang yang menilainya, sehingga mungkin saja bagi sebagian pihak ada perbedaan penafsiran mengenai misalnya tujuan yang ingin dicapai dalam suatu kebijakan dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.

Sementara itu Parsons (2006:15), memberi gagasan tentang kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik. Menurutnya kata policy mengandung makna kebijakan sebagai rationale, sebuah manifestasi dari penilaian pertimbangan. Artinya sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.

Selanjutnya Nurcholis (2007:263), memberi defenisi tentang kebijakan sebagai keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam hal:
  1. Pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun unit organisasi pelaksana kebijakan,
  2. Penerapan atau pelaksaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompol sasaran yang dimaksudkan.
Makna kebijakan seperti yang kutip oleh Jones (1996:47), dalam pandangan Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, yang menyatakan bahwa kebijakan itu ialah "a standing decision characterized by behavior consistency and repetiveness on the part of both thoose who make it and thoose who abide by it". <

Menurut Jones, bahwa kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut.

sekalipun defenisi menimbulkan beberapa pertanyaan atau masalah untuk menilai berapa lama sebuah keputusan dapat bertahan atau hal apakah yang membentuk konsistensi dan pengulangan tingkah laku yang dimaksud serta siapa yang sebenarnya melakukan jumlah pembuat kebijakan pematuh kebijakan tersebut, namun demikian defenisi ini telah memperkenalkan beberapa komponen kebijakan publik.

Selanjutnya tentang kebijakan publik Dye (2008:1), mengemukakan: "Public policy is what ever governments choose to do or not to do", menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Menurutnya bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan dan kebijakan negara harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau pejabatnya. Disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan "sesuatu yang tidak dilaksanakan" oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar dengan "sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah".

Dengan demikian kebijakan menurut Dye, adalah merupakan upaya untuk memahami:
  1. Apa yang dilakukan dan atau tidak dilakukan oleh pemerintah,
  2. Apa penyebab atau yang mempengaruhinya, dan
  3. Apa dampak dari kebijakan tersebut jika dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Kalau konsep ini diikuti, maka dengan demikian perhatian kita dalam mempelajari kebijakan seyogianya diarahkan pada apa yang nyata dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan. Dalam kaitan inilah maka mudah dipahami jika kebijakan acap kali diberikan makna sebagai tindakan politik. Sehubungan dengan hal tersebut Dunn (2003:22), mengemukakan bahwa proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politik. Aktivis politis tersebut dijelaskan sebagai sebagai proses pembuatan kebijakan dan diaktualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, penilaian kebijakan. Itulah sebabnya Utomo(2006:76), mengemukakan setiap peraturan daerah, undang-undang maupun kebijakan akan selalu terkait atau dikaitkan atau bahkan dipengaruhi oleh sistem politik, sistem pemerintahan atau suasana politik atau bahkan keinginan power elit pada suatu waktu. Senada dengan hal tersebut (Nugroho, 2003:7), mengemukakan bahwa kebijakan adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warga. setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi.

Dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para pakar diatas, penulis berpendapat bahwa kebijakan publik identik dengan regulasi atau aturan atau dapat diartikan sebagai suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah yang harus dipahami secara utuh dan benar. Kebijakan publik diawali dengan adanya isue yang menyangkut kepentingan dan disepakati oleh legislatif dan eksekutif untuk ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik, apakah itu menjadi undang-undang, apakah menjadi peraturan pemerintah, atau peraturan presiden termasuk peraturan daerah, maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.

-------------------------------

DAFTAR RUJUKAN

Dr. Arifin Tahir, M. (2011). Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Cetakan Pertama ed.). (H. Hadjarati, Penyunt.) Kemayoran, Indonesia, Jakarta Pusat: PT. Pustaka Indonesia Press.