Baca Juga


Pengertian, Tujuan, Prinsip, Asas, Dasar hukum, Ciri-Ciri serta Hakikat Latar Belakang Pelaksanaan  Otonomi Daerah (OTDA) di Indonesia

 

Pengertian Otonomi Daerah

Pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.[1]

Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.

Dasar Hukum Otonomi Daerah

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
  • Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
  • UU No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  • UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

 

Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing.

Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839). Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah[2] sehingga digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).

Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.[3]

Tujuan Otonomi Daerah

Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut:
  1. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
  2. Pengembangan kehidupan demokrasi.
  3. Keadilan nasional.
  4. Pemerataan wilayah daerah.
  5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
  6. Mendorong pemberdayaaan masyarakat.
  7. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Secara konseptual, Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi: tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber keuangan, serta pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Ciri-Ciri Otonomi Daerah

Negara Kesatuan Negara Federal Otonomi daerah
Setiap daerah memiliki perda (dibawah UU) Setiap daerah mempunyai UUD derah yang tidak bertentangan dengan UUD negara (hukum tersendiri) Setiap daerah memiliki perda (dibawah UU)
Perda terikat dengan UU UUD daerah tidak terikat dengan UU negara Perda terikat dengan UU
Hanya Presiden berwenang mengatur hukum Presiden berwenang mengatur hukum untuk negara sedangkan kepala daerah untuk daerah Hanya Presiden berwenang mengatur hukum
DPRD (provinsi) tidak punya hak veto terhadap UU negara yang disahkan DPR DPRD (provinsi) punya hak veto terhadap UU negara yang disahkan DPR DPRD (provinsi) tidak punya hak veto terhadap UU negara yang disahkan DPR
Perda dicabut pemerintah pusat Perda dicabut DPR dan DPD setiap daerah Perda dicabut pemerintah pusat
Sentralisasi Desentralisasi Semi sentralisasi
Bisa interversi dari kebijakan pusat Tidak bisa interversi dari kebijakan pusat Bisa interversi dari kebijakan pusat
Perjanjian dengan pihak asing/luar negeri harus melalui pusat Perjanjian dengan pihak asing/luar negeri harus melalui pusat Perjanjian dengan pihak asing/luar negeri harus melalui pusat
APBN dan APBD tergabung APBD untuk setiap daerah dan APBN hanya untuk negara APBN dan APBD tergabung
Pengeluaran APBN dan APBD dihitung perbandingan Pengeluaran APBN dan APBD dihitung pembagian Pengeluaran APBN dan APBD dihitung perbandingan
Setiap daerah tidak diakui sebagai negara berdaulat Setiap daerah diakui sebagai negara berdaulat dan sejajar Setiap daerah tidak diakui sebagai negara berdaulat
Daerah diatur pemerintah pusat Daerah harus mandiri Daerah harus mandiri
Keputusan pemda diatur pemerintah pusat Keputusan pemda tidak ada hubungan dengan pemerintah pusat Keputusan pemda diatur pemerintah pusat
Tidak ada perjanjian antar daerah jika SDM/SDA dilibatkan Ada perjanjian antar daerah jika SDM/SDA dilibatkan Tidak ada perjanjian antar daerah jika SDM/SDA dilibatkan
Masalah daerah merupakan tanggung jawab bersama Masalah daerah merupakan tanggung jawab pemda Masalah daerah merupakan tanggung jawab bersama
3 kekuasaan daerah tidak diakui 3 kekuasaan daerah diakui 3 kekuasaan daerah tidak diakui
Hanya hari libur nasional diakui Hari libur nasional terdiri dari pusat dan daerah Hanya hari libur nasional diakui
Bendera nasional hanya diakui Bendera nasional serta daerah diakui dan sejajar Bendera nasional hanya diakui
Hanya bahasa nasional diakui Beberapa bahasa selain nasional diakui setiap daerah Hanya bahasa nasional diakui

Latar Belakang Otonomi Daerah di Indonesia

Di Indonesia, otonomi daerah sebenarnya mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan pemerintahan yang cenderung ke arah disentralisasi. Namun pelaksanaannya mengalami pasang surut, sampai masa reformasi bergulir. Pada masa ini keluarlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Sejak itu, penerapan otonomi daerah berjalan cepat.

Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan, moneter/fiscal, politik luar negeri dan dalam negeri serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional).

Secara substansial, otonomi daerah mirip dengan Negara federasi. Bedanya, federalisme berangkat dari pola bottom-up, artinya daerah-daerah dengan kekuasaannya masing-masing, setuju untuk bergabung dalam satu pemerintahan Negara. Dalam hal ini kedudukan antara pemerintahan pusat dan daerah cenderung sejajar. Sementara otonomi daerah, berangkat dari pola top-down, dimana satu pemerintahan pusat masih lebih tinggi dibanding pemerintah daerah.

Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru pola pemerintahan sentralistik demikian kuatnya. Diantaranya :
  1. Pemerintah sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “ sapi perahan” pemerintah pusat. Mereka lebih banyak dibebani kewajiban-kewajiban untuk menyetorkan segala potensi kekayaan alamnya ke pusat tanpa reserve, disisi lain hak-hak daerah untuk mendapatkan kue bagi pembangunan sering terabaikan.
  2. Tradisi sentralistik kekuasaan melahirkan ketimpangan antara pembangunan di pusat dan daerah, sehingga pemicu ketidakadilan dan ketidaksejahteraan di berbagai daerah, terutama yang jauh dari jangkauan pusat. Daerah yang kaya sumber daya alam tak menjamin rakyatnya sejahtera karena sumber kekayaannya disedot oleh pusat. Seperti Aceh yang memiliki potensi gas alam terbesar di dunia, rakyatnya hanya gigit jari ditengah riuhnya eksplorasi gas oleh Exxon Mobile. Rakyat Papua juga merana ditengah gelimpangan emas yang digali Freeport yang hanya meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan.

  3. Pola sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah. Misalnya menerapkan regulasi yang ketat sehingga mematikan kreatifitas daerah dalam membangun. Budaya minta petunjuk ke pusat tertanam kuat sehingga proses pembangunan di daerah berjalan lamban dan kepengurusan kepentingan rakyat terabaikan.
  4. Otonomi diharapkan menjadi freedom atas tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebagai ekspresi ketidakpercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.

    Atas daerah buruknya penerapan sistem pemerintahan sentralistik diatas itulah maka otonomi daerah diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat. Namun benarkah otonomi daerah adalah solusi terbaik yang menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat?
Sejak reformasi Pemerintahan Daerah (Pemda) digulirkan, sekitar tahun 1999, ditandai dengan lahirnya Undang Undang (UU) No 22 tahun 1999 atau yang lebih dikenal dengan UU tentang Otonomi Daerah (Otda). Mulai timbul pertanyaan dan pertentangan, bahwa sebaiknya Otda diterapkan dimana, di tingkat provinsi (Tingkat I) atau di tingkat Kabupaten/Kota (Tingkat II). Pertentangan itu muncul karena berdasarkan pengalaman penerapan desentralisasi di beberapa negara, disamping tidak mudah, kebanyakan penguatannya di tingkat provinsi. Sedangkan design UU No 22 tahun 1999 sangat jelas, Otda diterapkan di tingkat Kabupaten/Kota. Pertanyaan dan persoalannya adalah apakah karena persoalan kebimbangan itu, sehingga penerapan UU No 22 tahun 1999 baru dilaksanakan Januari 2001?

Penerapan konsep otonomi daerah (OTDA) dewasa ini dinilai salah kaprah dan telah terjebak dalam praktik federalisme atau negara bagian. “Otda yang diterapkan saat ini berbeda jauh dari konsep yang dirancang sejak awal,” kata pengamat politik, Dharma Wisesa, di Medan, belum lama ini.

Wisesa mengaku sangat mengetahui konsep awal otonomi daerah (OTDA) karena ikut merancangnya bersama Guru Besar Universitas Padjajaran, Prof. Otto Soemarwoto dan Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Sidharta Utama.

Pada konsep awal, penghasilan yang didapatkan daerah akan dikembalikan pemerintah pusat sebanyak 75 persen untuk pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki, sedangkan 25 persen tetap dikelola pemerintah pusat sebagai biaya penyelenggaraan negara. Hal itu dilakukan sebagai desentralisasi pengelolaan potensi daerah yang dulunya sangat tergantung dengan keputusan pemerintah pusat.

Namun, pada praktiknya desentralisasi sepenuhnya diserahkan ke daerah, sedangkan pemerintah pusat tidak memiliki kemampuan untuk mengintervensi. “Konsep itu sudah berbeda dengan rencana awal karena sudah seperti sistem pemerintah yang diberlakukan di negara federal,” katanya.

Selain itu, kata Wisesa, konsep Otonomi Daerah (OTDA) yang berlaku saat ini juga telah menciptakan sistem birokrasi yang cukup panjang dan membuka peluang untuk melakukan praktik korupsi. Padahal konsep Otonomi Daerah (OTDA) dirancang untuk memangkas rentetan birokrasi yang diberlakukan pada masa sebelum konsep itu diberlakukan.

(diambil dari berbagai sumber)


Pengertian, Tujuan, Prinsip, Asas, Dasar hukum, Ciri-Ciri serta Hakikat Latar Belakang Pelaksanaan  Otonomi (OTDA) Daerah di Indonesia


otonomi daerah | otonomi daerah | otonomi daerah | otonomi daerah | otonomi daerah | otonomi daerah | otonomi daerah | otonomi daerah | otonomi daerah | pengertian otonomi daerah | pengertian otonomi daerah | pengertian otonomi daerah | pengertian otonomi daerah | pengertian otonomi daerah | pengertian otonomi daerah | pengertian otonomi daerah | tujuan otonomi daerah | tujuan otonomi daerah | tujuan otonomi daerah | tujuan otonomi daerah | tujuan otonomi daerah | tujuan otonomi daerah | tujuan otonomi daerah | tujuan otonomi daerah | prinsip otonomi daerah | prinsip otonomi daerah | prinsip otonomi daerah | prinsip otonomi daerah | hakikat otonomi daerah | hakikat otonomi daerah | hakikat otonomi daerah | hakikat otonomi daerah | hakikat otonomi daerah | hakikat otonomi daerah