Baca Juga
A.
PENDAHULUAN
Nilai-nilai etika
yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah sekedar
menjadi keyakinan pribadi bagi para anggotanya, akan tetapi juga
menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu
nilai etika harus menjadi acuan dan pedoman bertindak yang membawa
akibat dan pengaruh secara moral. Dalam etika pemerintahan, terdapat
asumsi yang berlaku bahwa melalui penghayatan yang etis yang baik,
seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan
dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan menjaga moralitas
pemerintahan. Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi,
akan senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan
tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan,
melalui pencitraan perilaku hidup sehari-hari. Dalam lingkup profesi
pemerintahan misalnya, ada nilai-nilai tertentu yang harus tetap
ditegakkan demi menjaga citra pemerintah dan yang dapat menjadikan
pemerintah, mampu menjalankan tugas dan fungsinya.
Berbicara
mengenai etika pemerintahan tidak terlepas dari etika birokrasi,
birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang
kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai
konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara
dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan
oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung
maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan
apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem
administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang
disebut dengan istilah birokrasi.
Berbicara tentang
Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas,
terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa.
Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat
birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main
yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam penyelenggaraanpemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat
birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri
yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi
pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan
masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita
berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam
melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang
seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang
sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati
dilaksanakan.
Menjadi
permasalahan sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam
Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis
atau tidak, bagaimana dengan kondisi saat itu dan tempat daerah
tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah kami atau
dapat dibenarkan, namun ditempat lain belum tentu. Dapat dikatakan
bahwa Etika Birokrasi sangat terpergantung dari seberapa jauh
melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada
saat yang bagaimana, serta sangsi apa yang akan diterapkan sangsi
social moral ataukah sangsi hukum, semua ini sangat temporer dan
bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma,
adat dan kebiasaan setempat.
Dalam penulisan
ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan
Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dari mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana
peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian dari penerapan Etika
Birokrasi di negara kita.
B. Pengertian
Etika
Dalam bahasa
Indonesia “Etika” berarti “kesusilaan” yang terdiri dari
bahasa Sanskerta “Su” yang berarti baik, dan “Sila” yang
berarti norma atau dasar kehidupan. Etika berkaitan dengan tingkah
laku manusia untuk bertindak secara benar. Jadi etika selalu condong
pada perbuatan baik.[1]
Prof. Dr. Muh.
Said menjelaskan bahwa Secara etimologis etika berasal dari perkataan
Yunani “Etos” yang berarti adat atau watak. Kata ini identik
dengan asal kata moral dari bahasa latin “Mos” (Jamaknya adalah
Mores) yang juga berarti adat atau cara hidup. Jadi kedua kata
tersebut ( etika dan Moral) menunjukkan cara berbuat yang menjadi
adat karena persetujuan atau praktek sekelompok manusia. Dengan
demikian etika dapat di artikan sebagai suatu sikap kesediaan jiwa
seseorang untuk senantiasa taat dan patuh kepada seperangkat
peraturan-peraturan kesusilaan.[2]
Selanjutnya
Robert C. Salomon[3] menggaris adanya perbedaan antara etika, moral
dan moralitas. Etika menunjuk kepada dua hal : Pertama, etika
berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai
yang di anut oleh manusia beserta pembenarannya dan dalam hal ini
etika merupakan salah satu cabang filsafat. Kedua, Etika merupakan
pokok permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu
nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku
manusia. Moral dalam pengertiannya yang umum menaruh penekanan kepada
karakter dan sifat-sifat individu yang khusus di luar ketaatan kepada
peraturan. Maka moral menunjuk kepada tingkah laku yang bersifat
spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan
sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan
hukum. Sedangkan moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai
bagian dari etika. Moralitas berfokus kepada hukum-hukum dan
prinsip-prinsip yang abstrak dan bebas.
Aristoteles juga
memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika
meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa
Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah
saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh
dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa
akan kesusilaan[4]. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai
pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita
berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas
aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan
moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan
(cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa
dan seamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan
dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan
seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral[5], dan berkaitan dengan
kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas
tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut
masalah yang ada dalam kontak social dengan masyarakat, ini berarti
Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian
aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di
tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah
sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
Brownlee,
mengartikan etika sebagai suatu sikap kesediaan jiwa seseorang untuk
senantiasa taat dan patuh terhadap seperangkat peraturan-peraturan
kesusilaan. Kebanyakan orang merasa bahwa norma-norma dan hukum-hukum
mempunyai peranan yang besar dalam bidang etika.[6]
Selanjutnya
menurut Widjaja (1997:79) Etika itu sendiri merupakan bagian dari
etika pada umumnya, sedangkan etika itu luas sekali. Unsur-unsur
pemerintah ialah harus mempunyai penyesuaian segala sesuatu yang
tidak ada batasnya. Etika pemerintah di tentukan pada proses
aktivitas pemerintah berdasarkan sistem (peraturan-peraturan, metode,
proses dan teknik) yang secara sadar bertujuan melaksanakan tertib
administrasi yang di tentukan oleh setiap mental pelaksana.
Untuk mencari
sistematika dalam etika pemerintahan sangat sulit karena pemerintahan
selalu berubah menurut power yang berkuasa. Pegangan yang paling
penting dalam etika pemerintahan ialah power dan authoritylotoritas
kekuasan. Dalam hal pemerintahan kita memerlukan etika. Karena
permasalahan pemerintahan menyangkut soal manusia. Ada dua unsur yang
terlibat dalam soal pemerintahan:
1. Unsur yang
memerintah di sebut pemerintah
2. Unsur yang
di perintah di sebut rakyat
Dalam etika
pemerintah harus ada partisipasi yang intensif dengan masyarakat.
Harus di tanggapi segala keinginan-keinginan yang ada di masyarakat.
Memang untuk menstimulir partisipasi ini memang sulit karena
keinginan individu yang beraneka ragam. Dalam mengintensifkan
partisipasi yang fleksibel bagi pemerintahan adalah penting. Sebab
yang di perhatikan bukan yang memerintah tapi yang di perintah. Inti
dari etika pemerintahan adalah penggunaan kekuasaan (The Use of
power).
Dari beberapa
pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah
bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung
dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral
merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai
moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula
dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut
sebagai Etika Birokrasi.
Ketika kenyataan
yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul
kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para
aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran
dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka
sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita
mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma
atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita
inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat
Birokrasi tadi.
Ada beberapa
alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam
pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel,
menurut Agus Dwiyanto,[7] bahwa : Pertama masalah – masalah yang
dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin
kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah
melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak
dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam
memecahkan masalh yang berkembang birokrasi seringkali tidak
dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan
buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada
pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing
memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus
pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat
birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus
memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan
kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey
area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring
dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika
birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy
guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua,
keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan
kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi
dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk
melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang
terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan
adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan
kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau
birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai
besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan
kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman
yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu
hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun
pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan
birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya.
Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam
pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan
peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para
professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika
birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan
praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan
perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang
dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika
Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin
dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan
tugas dari aparat birokrasi itu sendiri yang seiring dengan semakin
komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan
fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan
dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para
Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih
beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu
ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di
tengah-tengah masyarakat.
D. Darimana
Etika Birokrasi di Mulai
Terbentuknya
Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam
masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan
atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas
tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat
mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak
etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan
bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Di negara kita
yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada
Bapak atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin
birokrasi, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menegur para
aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis atau tidak
bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manurut saja melihat
perilaku yang adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi
seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau
penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan
pemerintah. Dimana pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi
merasa paling berkuasa dan merasa dialah yang mempunyai kewengan
untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya menurut
versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan apa yang aturan
main di dalam masyarakat. Permasalahan ini sangat rumit karena Etika
Birokrasi cenderung diseragamkan melalui peraturan Kepegawaian yang
telah diatur dari Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat,
sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah
masyarakat, yang jadi pertanyaan sekarang apakah yang dikatakan Etis
menurut peraturan kepegawaian yang mengetur Aparat Birokrasi dapat
dapat dikatakan Etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
Menurut Drs.
Haryanto,MA dalam makalahnya mengatakan bahwa : Adalah sulit untuk
menyetujui atau tidak mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan
secara formal. Etika sebagaimana telah dikatakan sebelumnya sangat
terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki
pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang
disebut sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan
dan ketidakpantasan’.[8]
Dalam menyikapi
pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan
Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan
peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak
menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi
disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu
diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana
penerapannya serta sangsi yang jelas dan tegas, ini semua mambutuhkan
kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika
Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia,
sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal
sangsi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sangsi
fisik atau hukuman tetapi berupa sangsi social dalam masyarakt,
seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari
lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat Birokrasi
sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron
yang melekat).
Begitu rumit dan
kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat
birokrasi mulai tergelincir atau terjerumus kedalam perilaku yang
menyimpang belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnya
sendiri, untuk itu perlu adanya penegasan payung hukum atau norma
aturan yang perlu disepakati bersama untuk dilakukan dan diayomi
dengan aturan hukum yang jelas dan sangsi yang tegas bagi siapa saja
pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di
Indonesia, seiring dengan itu oleh Paul H. Douglas dalam bukunya
“Ethics in Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA,[9]
tentang tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang
pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
- Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabata kedinasan.
- Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentinagn dinas.
- Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
- Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak.
- Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian
jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan
tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan
kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak,
untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang
Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi social yang
situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan
masyarakat tersebut.
E. Peraturan
Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.
Berbicara tentang
Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi
itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara
tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit
Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang
mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang
mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi
penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai
kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki.
Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para apata
birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat
Birokrasi secara kongrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu
Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis
melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sessuai aturan yang telah
ditetakan.
Etika Birokrasi
merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau
Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya,
dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur
lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik
Indonesia (Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga.[10]
Dengan sendirinya
Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu
yang kadang–kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang
pimpinan upacara disebut inspektur upacara (IRUP), maksudnya adalah
untuk menciptakan kondisi–kondisi moril yang menguntungkan dalam
organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang
diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik
tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau
upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara –
upacara nasional.
Pegawai Negeri
Sendiri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang
dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negara atau diserahi tugas
negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku[11].
Setiap
organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk
membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar
lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui
sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas
dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika
atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa
sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran
atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat
Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak.
Tetapi apapun dan
bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan
Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih
jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin
serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari
perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain.
Agar tercipta
Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka
perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang
tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan
yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai
Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan
Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah
ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
1. Peraturan
disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang
Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun 1980 yang kemudian di revisi dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain
diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata
cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman
disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi
seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin
Pegawai Negeri sebagaimana pada pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010 adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati
kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak
ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
Yang menjadi
kewajiban dan harus ditaati sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010[12], antara lain mengatur tentang :
- Mengucapkan sumpah/janji PNS.
- Mengucapkan sumpah/janji jabatan.
- Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah.
- Menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab.
- Menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS.
- Mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan.
- Memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan;
- Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara.
- Melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil.
- Masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja.
- Mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan.
- Menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya.
- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas.
- Memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier.
- Menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
Sementara
Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku
aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010[13], yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik
Birokrasi, yaitu larangan seperti :
- Menyalahgunakan wewenang.
- Menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain.
- Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional.
- Bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing.
- Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah.
- Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
- Memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan.
- Menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.
- Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani.
- Menghalangi berjalannya tugas kedinasan.
- Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
- kut serta sebagai pelaksana kampanye.
- Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS.
- Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
- Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.
- Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
- Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
- Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
- Memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan.
- Memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
- Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
- Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye.
- Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
- Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Semua kewajiban
dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh
pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma
dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai
Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi.
Selain Kewajiban
dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak
kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau
hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di
atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai
Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis
sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010
terdiri dari :
1. Hukuman
disiplin ringan antara lain :
- Teguran lisan
- Teguran tertulis
- Pernyataan tidak puas secara tertulis[14].
2. Jenis
hukuman disiplin sedang, antara lain :
- Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun.
- Penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan
- Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun[15].
3. Jenis
hukuman disiplin berat, terdiri dari :
- Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun.
- Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah.
- Pembebasan dari jabatan.
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.
- Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS[16].
Dari sangsi
hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar
Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat
birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuman
yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan
sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan
atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas
retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya
efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah
masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas
berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di
atas.
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan
salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat
mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan
segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat
membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang
berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian
dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan
aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai
aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat
diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai
negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang
berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini
diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main
dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan
birokrasi lebih beretika dan bermoral.
F. P E N U T U
P
Uraian-uraian
dari makalah yang disajikan diatas, hanya merupakan konsep ideal yang
diharapka dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang
merupakan aparat birokrasi di negara kita yang mempunyai tugas dan
fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur masyarakat dan
memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakn dengan
baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.
Etika Birokrasi
bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra
Setya Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau
Peraturan Pemerintah Tentang kepegawaian, tetapi lebih dari itu
bagaiaman ketentuan-ketentuan tersebut dapat dapat dihayati dan
diamalkan dalam berepilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak
kalah penting yaitu bagaiman penegakkan hukum atau sangsi yang tegas
bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan
tersebut. Hukuman atau sangsi perlu ditegakkan secara merata tanpa
pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan semuanya harus sama di
mata hukum.
Masyarakat juga
berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga
turut mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya,
kalau memang melanggar harus ada komitmen bersama untuk mentaati
aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang disebut Etika
Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau
aparat Birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di
kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia teriakt dengan aturan
kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi lansasan
Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam melaksanakan tugasnya.
-------------------------------------
[1] Syafiie. Inu
Kencana. Etika Pemerintahan. Bandung,Rineka Cipta 1994, halaman 1
[2] Muhammad
Said. Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta, Pradnya Pramita 1960,
halaman 23.
[3] Widjaja. A.
W. Etika Pemerintahan, Jakarta : Bumi Aksara, 1997, halaman 67
[4] Ibid
[5] Widjaja, AW.
Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, bandung, Cv
Armico, 1985.
[6] Malcolm
Brown Lee. Pengambilan Keputusan Etis. Jakarta, BPK Gunung Mulia,
1991 halaman 1.
[7] Agus
Dwiyanto, Pemerintah Yang Baik, Tanggap, Efisien, dan Akuntabel,
Kontrol atau Etika, Seminar Forum Kebijakan Publik, Pasca Sarjana,
UGM, Yogyakarta, 2000.
[8] Drs.
Haryanto, MA, Makalah Etika Pemerintahan, Staf Pengajar Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL, UGM, Yogyakarta.hal.8,9.
[9] Ibid, halaman
15-16.
[10] Prof. Drs.
H.a. Widjaja, Etika Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta, 1997. hal.23.
[11] Pasal 1 ayat
(1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang
Pokok-pokok Kepegawaian, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3890. Undang-undang ini telah di revisi dari Undang-undang
terdahulunya yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Kepegawaian dan di sesuaikan dengan semangat reformasi
dalam rangka mewujudkan menejmen kepegawaian yang bersih dan
berwibawa.
[12] Pasal 3,
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135.
[13] Ibid, Pasal
4
[14] Ibid, Pasal
7 (2).
[15] Ibid, Pasal
7 (3).
[16] Ibid, Pasal
7 (4).