Baca Juga
Abstrak
Situasi politik tertentu akan melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu pula. Hal ini secara teoritis, dikotomis sistem politik demokrasi akan menghasilkan produk hukum yang responsif. Sedangkan konfigurasi sistem politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang konservatif/ortodoks. Hal ini secara langsung dapat dikaitkan dalam telaah pengaturan hukum tentang pemerintahan di indonesia.
---------------------------
Kontek lahirnya teori ini dilatarbelakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah yang melanda Amerika Serikat pada tahun1950-an. Hukum yang ada dan digunakan pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut untuk bisa memecahkan dan memberikan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick berpikir dan berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan itu.
Selama itu, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini adalah masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, disisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang lebih menekankan pada aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya terori hukum hendaknya tidak buta terhadap pengaruh sosial. Hukum tidak berada diruang hampa, tetapi ada bersama-sama dengan ilmu yang lain, sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Memahami kenyataan itu, Nonet dan Selznick kemudian mencoba memasukan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial kedalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan, sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan semata.
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai suatu yang berubah-ubah dan kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang melingkupinya. sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu:
- Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (Hukum Represif).
- Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represi dan melindungi integritas dirinya (Hukum Otonom).
- Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (Hukum Responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otomom dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda, tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik masyarakat. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (Developmental Model). Untuk menjelaskan perkembangan evolusi tersebut, menurut pandangan penulis tahapan ini dapat didasarkan pada memontum-momentum sosial politik yang penting dalam perjalanan sejarah suatu negara, yang membingkai secara kontekstual terhadap muncul dan berlakunya suatu peraturan hukum dalam masyarakat.
Diantara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan III (Hukum Responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya resiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih maju.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan oleh subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interprestasi yang baku dan tidak fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence disatu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat didalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum tidak hanya rules (Logic & Rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus dipercaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari lingkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk sekedar meligitimasikan kekuasaan.
----------------------------
- Pengaruh konfigurasi politik hukum terhadap karakter produk hukum. (Lintje Anna Marpaung)
- PRANATA HUKUM Volume 7 Nomor 1 Januari 2012
DAFTAR RUJUKAN
Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin (ed.), 1986. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Nasional. LBH Yogyakarta dan Rajawali : Jakarta.
Bintan Regen Saragih, 2006. Politik Hukum. CV. Utomo:Bandung.
Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teori Studi Hukum dalam Masyarakat. Rajawali:Jakarta.