Baca Juga

Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah melakukan moratorium calon pegawai negeri sipil (CPNS). Penghentian sementara penerimaan PNS ini untuk membenahi ketidakmerataan pegawai di tingkat aparatur negara dari tingkat daerah hingga pusat. Pada dasarnya moratorim ini bukan untuk menghentikan penerimaan CPNS seterusnya. Penghentian sementara ini bisa terjadi selama 1 tahun atau mungkin 2 tahun, tergantung berapa lama proses pembenahan sistem kepegawaian. “Jadi, bukan menghentikan penerimaan. Namun ada  beberapa pengecualian untuk daerah tertentu, misalnya daerah- daerah yang baru dimekarkan, tentunya daerah-daerah ini membutuhkan  aparatur negara untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan.

Menurut Mangindaan, latar belakang perlunya moratorium CPNS di antaranya dengan ditetapkan UU 22/1999 yang telah diganti dengan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, mengakibatkan pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS (46.021 pegawai), penyerahan pegawai dari pemerintah pusat ke Daerah (2,2 juta pegawai), dan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS (899.866 orang).
Faktor lain, dampak pemekaran wilayah sejak 2001 menambah 7 provinsi dan 154 kabupaten/kota, yang mengakibatkan besarnya permintaan penambahan PNS di daerah. Pembentukan satuan organisasi daerah juga berpotensi memicu permintaan PNS. “Hal-hal di atas berdampak pada jumlah, komposisi, dan distribusi yang tidak proporsional serta penempatan PNS yang tidak sesuai kompetensi, dan moratorium untuk membenahi itu.

Saat ini jumlah PNS mencapai 4.708.330 orang yang penyebarannya meliputi 80,5% di daerah dan sisanya di pusat. PNS yang akan pensiun tahun 2011 mencapai 107.418 orang, 2012 mencapai 124.175 orang, 2013 mencapai 123.167 orang, dan tahun 2014 mencapai 133.734. “Itu semua perlu diatur. Kita inginnya nol pensiun. Dan mengatur orang itu harus hati-hati,” kata EE Mangindaan.[1]
Kebijakan Pemerintah pusat untuk memberlakukan moratorium terhadap Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), merupakan sebuah kebijakan publik yang di lakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi (KEMENPAN&RB), selain untuk membenahi Carut-marut menajemen kepegawaian, juga untuk menekan jumlah PNS yang semakin tak terkendali dari tahun-ke tahun.

    B.   Teori Implementasi

Pressman dan Wildavsky menyatakan bahwa sebuah kata kerja mengimplementasikan itu sudah terkait langsung dengan kata kebijaksanaan. Sehingga bagi kedua pelopor studi implementasi ini maka proses untuk melaksanakan kebijaksanaan perlu menadapatkan perhatian yang seksama, dan oleh sebab itu adalah keliru kalau kita menggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan berlangsung mulus.

Daniel A.Mazmanian dan Paul A. Sabatier(1979), menyatakan makna implementasi adalah: memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan belaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk menadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.[2]

Van meter dan Van Horn merumuskan implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu –individu pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainnya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.
Berdasarkan padangan diatas dapat kita simpulkan bahwa implementasi kebijaksaan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kataatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua yang terlibat, dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Dari beberapa definisi Implementasi Oleh beberapa pakar public policy di atas, pandangan Van Meter dan Van Horn memiliki analisis dan penekanan yang implementasi kebijakan pada dua faktor penting yakni sebagai aktor implementasi kebijakan dalam hal ini pejabat publik dan organisasi pemerintahan yang memiliki otoritas untuk melakukan implementasi kebijakan tersebut. Tulisan ini di maksudkan untuk melihat dan mengalisis kebijakan moratorium PNS oleh pemerintah berdasarkan teori implementasi Van Meter dan Van Horn.[3]

Selaian itu, dalam melihat implementasi kebijakan moratorium PNS dengan menggunakan teori Van Meter dan Van Horn, implementasi kebijakan ini juga dapat di lihat dari pendekatan Struktural Implementasi kebijakan.

Untuk menyederhanakan masalah yang luas ini kita perlu menarik perbedaan antara perencanaan mengenai perubahan (planning of change) dan perencanaan untuk melakukan perubahan (planning for change). Perencanaan mengenai perencanaan mengandung arti bahwa perubahan ditimbulkan dari dalam organisasi atau sepenuhnya berada di bawah kendali organisasi, baik arah, laju maupun waktunya. Di sini implementasi dipandang semata-mata sebagai persoalan teknis atau persoalan manajerial. Perencanaan untuk melakukan perubahan, di lain pihak, berlangsung apabila perubahan itu dipaksakan dari luar/oleh faktor eksternal ( oleh organisasi lain atau oleh kekuatan-kekuatan lingkungan) atau jika proses perubahan itusukar untuk diramalkan, dikontrol atau dibendung. Dalam hubungan ini, implementasi akan membutuhkan pendekatan yang lebih adatif, proses pembuatan kebijaksaan secara keseluruhan menjadi lebihg bersifat linier, dan hubungan antara kebijaksanaan dan implementasi akan mendekati apa yang oleh Barret dan Fudhge sebagai Policy – Action— Policy contiuum.

Bentuk-bentuk organisasi yang cocok untuk merencanakan perubahan tersebut dapat bersifat agak birokratik, seperti dalam model weber, di mana tugas-tugas dan hubungan antar tugas dirumuskan dengan jelas serta struktur yang disusun secara hierarkis. Di sisi lain, dalam hal perencanaan untuk melakukan perubahan, struktur organisasi yang lain mungkin lebih cocok, yaitu memiliki ciri-ciri organisasi yang oleh Burs dan Stalk (1961) serta para sarjana lain yang menulis lebih belakangan, digambarkan sebagai tidak terlalu mementingkan perincian tugas-tugas dan hubungan antar tugas yang kaku serta kurang menekankan struktur yang bersifat hierarkis. Stuktur-stuktur yangh bersifat organis dianggap cocok dalam lingkungan/situasi yangh penuh dengan ketidak pastian atau lingkungan yang sedang mengalami perubahan yang cepat. Struktur-struktur seperti ini mampu menyesuaikan diri dengan cepat dan efektif, sebagian karena mereka memiliki kemampuan yang besar untuk mengolah informasi, khususnya bila dibandingkan dengan kekurangan-kekurangan yang ada pada organisasi birokrasi yang tradisional yang menekankan pada saluran-saluran resmi dan komunikasi vertikal.[4]

Pendekatan Implementasi Keperilakuan (behavioral Approaches)

          Ada keterbatasan-keterbatasan tertentu mengenai apa yang akan dicapai dengan mengunakan pendekatan-pendekatan struktural dan prosedural. Perilaku manusia beserta segala sikapnya haru spula dipengaruhi kalau kebijaksanaan ingin dapat diimplementasikan dengan baik. Pendekatan keprilakuan diawali dengan suatu kesadaran bahwa seringkali terdapat penolakan terhadap perubahan (resistence to change). Dalam kenyataannya, alternatif-alternatif yang tersedia jarang sekali yang sederhana seperti menerima atau menolak, dan sebenarnyta terbentang spektrum kemungkinan reaksi sikap, mulai dari penerimaan aktif hingga penerimaan pasif, acuh tak acuh, dan penolakan pasif hingga penolakan aktif.

     C.  Analisis Kebijakan

Untuk melihat lebih spesifik tentang implementasi kebijakan  moratorium PNS berdasarkan Teori Implementasi Van Meter dan Van Horn, perlu kami uraikan indikator analasis implementasi berdasarkan teori model implementasi Van Meter dan Van Horn.

  • Ukuran tujuan kebijakan
  • Ciri badan atau sifat instansi pelaksana
  • Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan pelaksanaan
  • Lingkungan Ekopol
  • Sikap para pelaksana

1.   Tujuan Kebijakan

Kebijakan moratorium PNS di maksudkan untuk menata kembali menajemen kepegawaian terutama jumlah PNS yang semakin banyak jika setiap tahun di lakukan penerimaan CPNS, selain itu evaluasi terhadap beban anggaran yang tersedot untuk membayar gaji PNS serta biaya Operasional Instansi Pemerintah yang lebih banyak jika di bandingkan dengan alokasi anggaran untuk biaya publik (pemberdayaan masyarakat). Dari pertimbangan-pertimbangan iniliah pemerintah Pusat membuat kebijakan moratorium penerimaan PNS.

Jika di telusuri secara historis sebenarnya kebijakan moratorium PNS sudah pernah dilakukan oleh pemerintah, tapi sayangnya sudah menjadi tabiat buruk pemerintah yang tidak pernah konsiten dengan kebijakan yang diambilnya sendiri. Ketika Menpan Faisal Tamin (1999-2000) moratorium sudah dilaksanakan. Tapi pada saat Menpan Taufik Effendi moratorium dibuka kembali. Terjadilah pengangkatan pegawai honorer besar-besar yang terkesan berbau politis yang menyebabkan terjadinya  daftar tunggu tenaga honorer yang bersifat fiktif di daerah. 

Alasan yang paling mendasar dalam pelaksanaan penghentian perekrutan PNS karena  komposisi belanja daerah saat ini umumnya sudah tidak sehat. Bahkan ada sebagian daerah yang hampir bangkrut. Sebagaimana diketahui belanja pegawai tersedot jauh lebih besar ketimbang belanja publik. Ada 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen APBD tersedot untuk belanja pegawai. Bahkan di 116 kabupaten/kota malah mencapai lebih dari 60 persen APBD untuk belanja pegawai. Yang lebih ironis lagi, ada daerah yang mengalokasikan belanja pegawai lebih dari 70 persen dari APBD. Sebagai gambaran saja dalam rancangan Nota Keuangan  RAPBN 2012, DAU telah dianggarkan sejumlah Rp 269,5 triliun, sedangkan belanja pegawai mencapai Rp 215,7 triliun. Suatu jumlah yang sangat fantastik.

Sementara untuk RAPBN Tahun 2013, 30 persen lebih dari total RAPBN 2013 habis untuk membayar gaji PNS. Pemerintah mengumumkan menyiapkan sekitar Rp1.600 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2013 nanti. Sebagian besar uang itu habis untuk membayar  gaji pegawai negeri sipil (PNS).

Kementerian Pertahanan dan TNI memang tercatat sebagai kementerian yang memperoleh porsi terbesar yakni sekitar Rp177 triliun.  Namun menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), pemenang sebenarnya adalah bukan rakyat kebanyakan, namun adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di tengah kritik akan tidak efektif serta korupnya birokrasi Pemerintahan,  PNS lagi-lagi akan mendapat kenaikan gaji tujuh persen tahun depan. Berdasarkan catatan Fitra, seluruh PNS yang dipekerjakan Pemerintah Pusat memperoleh total Rp241,1 triliun untuk 4,7 juta PNS. Selain itu, Rp306,2 triliun lagi akan dialokasikan untuk membayar gaji PNS yang bekerja di pemerintahan daerah (Pemda) di seluruh Indonesia. Sehingga total gaji pegawai memangsa anggaran sebesar Rp546,3 triliun. Dengan demikian, ada total sekitar Rp 547 triliun anggaran negara yang, atau sekitar 30 persen lebih dari total RAPBN 2013 habis hanya untuk membayar gaji PNS saja. Itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk ongkos administrasi dan operasional, seperti untuk mebiayai perjalanan dinas luar kota hingga ke luar negeri Uchok Sky Khadafi, Koordinator Fitra, menjelaskan pada RAPBN 2013, alokasi pemerintah untuk gaji pegawai untuk PNS di Pemda itu berasal dari anggaran berbentuk dana alokasi Umum (DAU).  Padahal DAU sebetulnya bukan untuk belanja pegawai saja, tapi seharusnya dibagi untuk belanja pelayanan kepada masyarakat. Tetapi, banyak Pemda tidak sanggup menggaji pegawai sendiri, terpaksa mempergunakan DAU ini sepenuhnya untuk belanja pegawai Pemda. Tentu dengan mengkorbankan belanja untuk pelayanan publik.
Besarnya anggaran yang di alokasikan untuk belanja pegawai dan belanja operasional lainnya yang pada prinsipnya hanya untuk PNS seperti yang terlihat pada APBN 2012 dan RAPBN 2013 di atas, merupakan kebijakan pemerintah pusat yang bertolak belakang dengan semangat moratorium itu sendiri. Di satu sisi pemerintah ingin menekan jumlah PNS sehingga anggaran yang di gunakan untuk belanja publik (masyarakat miskin) dapat di tingkatkan.   

Sementara di sisi yang lain alokasi anggaran untuk belanja PNS terus di tingkatkan dari tahun ke tahun, rencana pemerintah menaikan gaji PNS berkisar antara tujuh sampai delapan persen pada tahun depan dengan tidak di sertai penilaian kinerja yang jelas terhadap PNS itu sendiri mengindikasikan keputusan ini hanyalah merupakan keputusan politik untuk menaikan citra pemerintah di tengah-tengah prahara korupsi yang menimpa partai penguasa.

Sudah menjadi ciri dan sifat pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang tidak konsisten serta tumpang tindih antara kebijakan yang satu dengan kebijakan yang lain. Sprit menejerial dari Moratorium PNS itu sendiri kemudian di ciderai oleh pemerintah dengan kebijakan yang dikotomis.

2.   Ciri Badan Dan Sifat Instansi Pelaksana

Ciri badan dan sifat instansi pelaksana dalam tulisan ini adalah organisasi pemerintah atau yang lazim di sebut dengan birokrasi.  Kontroversi tentang birokrasi telah lama terjadi di lingkungan pengamat dan praktisi administrasi publik.  Birokrasi publik di indonesia masih lebih banyak menjadi bagian dari masalah daripada solusi dalam penyelenggraan pemerintah. Keberhasilan banyak negara maju di  barat atau di Asia, seperti Korea Selatan dan jepang, dalam mereformasikan birokrasinya ternyata tidak mudah ditiru oleh indonesia. Realitas menunjukan  jarak dalam kualitas postur, sosok, dan kinerja birokrasi publik antara di indonesia dan negara-negara tersebut sangat lebar.

Sebagaimana telah didokumentasikan dalam berbagai literatur dan riset tentang birokrasi, terdapat kecendrungan birokrasi publik memiliki penyakit yang dapat membuat birokrasi mengalamai disfungsional dalam menjalankan misi pelayanan publik.  Sejak lama pakar ilmu administrasi publik, seperti Siagian, Caiden, dan Boseman telah mengingatkan pada praktisi bahwa birokrasi publik memiliki kecendrungan patologis yang harus diwaspadai.

Penerapan hierarki secara berlebihan dalam birokrasi publik di Indonesia ditengarai telah menimbulkan penyakit, yaitu berkembangnya prilaku birokrasi yang paterlistik. Pengembangan birokrasi publik yang hierarkis telah menciptakan ketergantungan bawahan kepada atasan secara berlebihan. Hal ini terjadi karena nasib dari aparatur birokrasi lebih banyak ditentukan oleh penilaian atasan langsung daripada oleh kinerjanya. Dalam birokrasi yang hierarkis, seorang aparatur birokrasi hanya memilki satu orang atasan dan penilaian kinerja aparatur sepenuhnya dilakukan oleh atasan tersebut, bukan oleh penilaian ditentukan oleh penilaian subjektif atasan daripada oleh kinerja objektif. Padahal jabatan stuktural dalam birokrasi yang hierarkis dianggap penting karena kehormatan, kekuasaan, dan penghasilan melekat pada jabatan. Akibanya, aparatur birokrasi cendrung melakukan berbagai upaya untuk menarik perhatian pimpinan termasuk melakukan perilaku asal bapak senang (ABS).

Ketika birokrasi yang seperti ini yang beroperasi di masyarakat yang memiliki budaya paternalistis, kecendrungan pejabat birokrasi memberikan perhatian yang berlebihan kepada pejabat atasan dengan mengabaikan pelayanan kepada masyarakat justru memperoleh justifikasi kultural. Demikian pula ketika pejabat atasan memperlakukan bawahan secara tidak wajar dengan menilai kinerja bawahan yang lebih didasarkan pada loyalitas. Bukan berdasarkan prestasi kerja. Perilaku pejabat birokrasi yang seperti itu memperoleh pembenaran karena budaya patenalistis  mengajari mereka untuk menghormati dan menunjukan dedikasi kepada pimpinan. Budaya paternalistis gagal menjadi sensor bagi perkembangan perilaku-perilaku pejabat birokrasi yang kurang mmenghargai profesionalisme.
Dalam berbagai keputusan implementasi kebijaksanaan, yang ditulis oleh para ahli, misalnya karya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1979) senantiasa disebutkan kesukaran-kesukaran untuk mewujudkan tindakan yang terkoordinirkan di dalam lingkungan badan/instansi tertentu dan diantara sejumlah besar badan-badan semi otonom yang terlibat kebanyakan usaha-usaha implementasi. Masalah koordinir ini semakin runyam jika mengyangkut peraturan pemerintah pusat, yang dalam pelaksanaannya seringkali amat tergantung kepada pemerintah daerah tingkat I dan instansi-instansi di daerah tingkat II karena perlu di jabarkan dalam bentuk program-program yang terjalin dalam sebuah sistem yang amat heterogen.

Salah satu bentuk ciri penting yang harus dimilki oleh setiap peraturan perundangan yang baik ialah kemamapuan untuk memadukan hierarki badan-badan pelaksana. Kalau sistem ini hanya terpadu secara longgar, maka kemungkinan akan terjadi perbedaan-perbedaan perilaku kepatuhan yang cukup mendasar di antara pejabat-pejabat pelaksana dan kelompok-kelompok sasaran, sebab mereka akan berusaha untuk melakukan modifikasi/perubahan-perubahan tertentu sejalan dengan rangsangan atau intensif yang muncul dilapangan.

Uraian di atas adalah sedikit selayang pandang untuk menyegarkan pemikiran kita tentang organisasi pemerintahan itu sendiri yang pada prinsipnya baik secara teoritik maupun prakteknya menuai banyak kritikan. Hal ini jelas karena banyaknya masalah yang di timbulkan oleh organisasi birokrasi itu sendiri dalam menjalankan amanah pelayanan publik. Jika kondisi patologi Organisasi birokrasi yang demikian parahnya terjadi di mulai dari Sistem yang kaku (rigid), hubungan Patron-clent, SDM yang rendah, Struktur yang gemuk, Sistem promosi jabatan yang tidak jelas, dan  KKN yang mewarnai hampir sebagian besar perjalanan birokrasi di Indonesia , maka akan sangat mudah dapat kita pahami mengapa setiap kebijakan yang di kelurkan oleh pemerintah pusat selalu gagal dalam tahapan implementasi.

Kebijakan moratorium PNS itu sendiri merupakan sebuah solusi yang di keluarkan oleh pemerintah pusat untuk menekan jumlah PNS serta melakukan perubahan-perubahan yang signifikan pada menajemen PNS itu sendiri untuk mengatasi penyakit birokrasi di atas. Akan tetapi lagi-lagi penekanan tujuan ini tidak dapat berjalan sebagaimana di harapkan. Pemerintah di saat melakukan Moratorium Terhadap PNS tapi dalam waktu yang sama juga telah mengangkat PNS pada daerah-daerah tertentu, Lembaga Kementrian tertentu, serta lembaga non kementrian. Padahal pemerintah pada masa ini belum memperlihatkan sejauhmana hasil yang telah di capai dengan kebijakan moratorium itu sendiri serta, belum mendesain sebuah konsep yang jelas (road-map) menajemen PNS sehingga, birokrasi secara struktural maupun aparatur di dalamnya dapat memahami dan memperbaiki disorientasi pelayanan (service) yang selama ini terjadi.

Ciri dan sifat badan pelaksana (birokrasi) haruslah formulasikan dulu dengan baik sebelum pemerintah pusat memberikan peluang bagi beberapa Lembaga Negara (kementrian dan non kementrian) untuk melakukan rekrutmen PNS di lingkungannya. Sehingga PNS yang nantinya di rekrut tidak memiliki dan mewarisi semangat kerja yang rendah sebagaimana yang terjadi pada Birokrasi pemerintahan sekarang ini.

3.   Komunikasi Antar Organisasi terkait dengan pelaksanaan kebijakan.

Komunikasi mengambil tempat yang sangat penting dalam wacana dan perkembangan ilmu politik pemerintahan akhir-akhir ini khususnya kebijakan publik, sebuah kebijakan publik dapat berjalan dengan baik apabila interaksi antar organisasi baik secara vertikal maupun horizontal dapat di tata dengan baik dalam upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan itu sendiri.

Pemerintah pusat secara vertikal memiliki garis koordinasi struktural dengan pemerintahan di bawahnya dalam hal ini pemerintah daerah provinsi dan kabupaten kota, sedangkan secara horizontal lembaga-lembaga kementrian negara haruslah berkoordinasi dan berkomunikasi dengan baik untuk mensinergikan program dan kebijakan yang telah di rumuskan.

Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN&RB) merupakan leader dan key players dari kebijakan moratorium PNS itu sendiri mengingat menajemen PNS  dan reformasi Birokrasi merupakan Tupoksi dari kementrian ini. Sehingga penting kiranya bagi pemerintah (KEMENPAN & RB) untuk melakukan komunikasi secara vertikal dengan Pemerintahan Daerah Provinsi maupun Kabupaten Kota, maupun Komunikasi secara horizontal dengan lembaga-lembaga kementrian maupun lembaga non kementrian yang ada di tingkat pusat.

Komunikasi antar organisasi menurut Van Meter dan Van Horn merupakan varian yang sangat penting dalam model implementasi kebijakan, komunikasi di maksudkan untuk menyampaikan tujuan kebijakan publik yang di keluarkan serta analisis efek/bias dari kebijakan itu terhadap organisasi yang lain sehingga implementasi dari kebijakan itu dapat terlaksana dengan baik, komunikasi bukan hanya di lakukan pada saat kebijakan itu di keluarkan akan tetapi selama kebijakan itu berproses/dijalankan.

Jika di kaji lebih mendalam kebijakan pemerintah tentang moratorium PNS maka dapat kita lihat lemahnya koordinasi dan komunikasi antara pemerintah pusat (Kemenpan&RB) baik komunikasi secara vertikal maupun horizontal sehingga pesan dari tujuan moratorium itu (Menejem PNS) tidak dapat di pahami dan di jalankan dengan baik oleh instansi pemerintah yang lain.

a)      Komunikasi Vertikal

Moratorium penerimaan CPNS lahir dari semangat reformasi birokrasi, semangat penataan kembali organisasi baik struktur maupun kultur birokrasi serta aparatur pegawai pemerintahan itu sendiri. Sehingga organisasi di harapkan dapat lebih efisien dan fleksibel dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Moratorium di harapkan dapat menghemat anggaran belanja pegawai baik pada APBN maupun APBD sehingga porsi anggaran untuk masyarakat dapat di tingkatkan, sembari melakukan perbaikan terhadap kinerja-kinerja organisasi birokrasi. Tujuan moratorium PNS tidak dapat di pahami secara substansial oleh pemerintah Daerah, sehingga banyak pemerintah daerah yang secara politik tetap membuka peluang rekrutmen pegawai tidak tetap di daerah (PTT) dengan alasan dan analisis beban kerja yang tidak sesuai. Sehingga sekalipun moratorium di lakukan tetap saja tidak mampu mengurangi porsi belanja pegawai pada level Pemerintahan daerah karena Anggaran itu kemudian di alokasikan untuk membayar gaji PTT di daerah.

Hal ini di karenakan komunikasi yang terjadi antara organisasi pelaksana kebijakan tidak berjalan secara baik, pemerintah daerah dengan semangat otonomi di berikan kebebasan termasuk pengelolaan pemerintahan dengan mengangkat pegawai tidak tetap (PTT) yang pada prinsipnya harus sesuai dengan kebutuhan daerah, akan tetapi yang terjadi adalah pengangkatan PTT ini merupakan upaya pemerintah daerah untuk mempertahankan status quo nya baik secara politik maupun pemerintahan. Kemenpan&RB harus lebih tegas dan jelas dalam menambil keputusan serta mengontrol dan mengawal proses dari pada kebijakan itu sehingga semangat dan tujuan moratorium dapat tercapai tentunya berdasarkan komunikasi dan koordinasi yang baik antar organisasi pemerintahan.

b)      Komunikasi Horizontal

Yang dimaksud dengan komunikasi horizontal dalam tulisan ini adalah Kemenpa&RB sebagai ujung tombak dari pelaksanaan kebijakan Moratorium PNS harus melakukan komunikasi yang baik dengan lembaga kementrian dan lembaga Non kementrian lainnya, sehingga ada sinergitas antara kebijakan pada level kementrian.

Kami melihat bahwa komunikasi horizontal yang terjadi antara lembaga lembaga kementrian tidak berjalan secara baik, hal ini dapat di lihat dari kebijakan di beberapa kementrian yang sangat kontra produktif dengan semangat reformasi birokrasi. Pada kementrian Dalam Negeri misalnya, meskipun berlaku moratorium DOB (daerah Otonom Baru) akan tetapi perkembangan terakhir menunjukan niat yang kuat pada Kemendagri untuk memekarkan beberapa daerah baru. Pemekaran itu tentu saja di lihat secara politis dan akan berdampak pada permintaan besar-besaran pegawai pada daerah tersebut yang tentu saja kontras dengan kebijakan moratorium PNS. Selain Kementrian Dalam Negeri seperti yang telah di sebutkan di atas, terdapat beberapa kementrian dan Lembaga Non Kementrian, Komisi-komisi, yang juga banyak menyampaikan usulan/permintaan pegawai terhap Kemenpan &RB,
Hal ini tentu saja di pengaruhi oleh Struktur organisasi pemerintah pusat yang terkesan sangat Gemuk, tumpang tinding kewenangan dan fungsi antara lembaga negara yang semakin memperumit jalan menuju reformasi birokrasi.[5]
 
4.   Lingkungan Ekonomi Politik

Jika di telusuri secara mendalam terkait dengan kebijakan pemerintah tentang morotorium Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia, tentunya kita akan memiliki  beragam penafsiran. Namun jika dilihat dalam kacamata teori kebijakan Meter dan Horn dari sisi sosial  ekonomi dan politiknya, yang berkaitan dengan kebijakan pemberhentian sementara penerimaan pegawai negeri sipil (morotorium) oleh pemerintah, sangatlah memiliki hubungan yang kompleks dengan kehidupan kebangsaan kita secara universal. Hal ini di sebabkan karena, di satu sisi kebijakan pemerintah dalam menghentikn sementara penerimaan PNS (morotorium) jika dilihat dari sisi ekonomi sangatlah tepat, karena jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia mulai dari pusat sampai di daerah sangatlah besar karena pada ujungnya  pembiayaan gaji pegawai negeri sipil (PNS) akan seluruhnya dibebankan pada APBN, dan tentunya  ini dapat menghambat pembangunan kebangasaan  kita pada sektor yang lain.[6] Sedangkan di sisi yang lain, morotorium pegawai negeri sipil (PNS) bukanlah sebuah solusi yang tepat untuk bangsa ini, dalam rangka meminimalisir  jumlahnya pegawai negeri sipil (PNS), tapi justru akan mempertajam masalah karena pemerintah tidak menyediakan alternatif kebijakan yang lain, misalnya membuka  lapangan kerja, agar masyarakat dapat  memilih pilihan alternatif yang di sediakan. Hal ini tentunya harus dilakukan, agar animo masyarakat tidak terfokus/terpusat untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) semata, karena masyarakat Indonesia pada umumnya, sudah  menganggap bahwa menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS), adalah solusi yang tepat untuk keberlangsungan kehidupan di masa akan datang.

Terlepas dari analisis sosial ekonominya, analisis politik dalam teori Meter dan Horn juga perlu untuk di kaji secara mendalam, sehingga kita dapat mengetahui secara jelas kebijakan pemerintah tentang morotorium ini di dominasi oleh lembaga eksekutif ataukah lembaga legislatif. Hal ini tentunya penting untuk ikut di analisis, karena dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia menganut teori pembagian kekuasaan, yang pada prinsipnya dalam menentukan sebuah kebijakan pemerintah membutuhkan keterlibatan lembaga legislatif agar secara bersama-sama, membahas sebuah kebijakan sebelum di implementasikan. Namun dalam melihat kebijakan morotorium pada tahun 2011-2012, telah dapat dilihat secara jelas, bahwa tidak ada dominasi lembaga eksekutif maupun legislatif dalam menentukan kebijakan morotorium, malah sebaliknya dalam realitas telah terjadi komunikasi serta koordinasi yang seimbang antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam membijaki kebijakan morotorium sehingga kebijakan ini dapat di implementasi.

Eksekutif dan legislatif dalam menyikapi kebijakan moratorium PNS ini memiliki dasar argumen yang sama tentang reformasi birokrasi. Kebijakan ini pada dasarnya memiliki tujuan yang baik hanya saja dalam pelaksanaannya terkesan pemerintah pusat tidak serius dan konsisten terhadap keputusan yang di buatnya sendiri sehingga terkesan ada tunggangan politik, hal ini dapat di lihat dari pembenahan  yang belum berjalan dan memperlihatkan hasil yang baik pada menajemen PNS itu sendiri setelah moratorium di berlakukan.

Keadaan yang demikian sudah sangat lumrah di pahami oleh pemerhati kajian politik dan pemerintahan  tentang gaya kepemimpinan SBY yang suka membentuk pencitraan. Indikasi politis yang sangat kental menunggangi kebijakan moratorium ini,  ketakutan kita adalah bahwa Pemerintah akan membuka kembali peneriamaan CPNS secara besar-besaran mendekati Pemilu 2014 yang akan datang sebagai wujud politik pencitraan yang selama ini di dalangi oleh Partai pengusa dan figurnya sendiri.

5.   Sikap Para Pelaksana

Van Meter dan Van Horn menaruh perhatian yang sangat serius pada Sikap dari pada pelaksana kebijakan publik sebagai prasyarat keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Sikap pelaksana secara spesifik dapat kita lihat dalam dua bagian yakni, sikap Organisasi Pemerintah (birokrasi) dan Aparatur Pemerintahan.

Tentunya kami tidak akan terlalu banyak membahas persoalan ini karena sebelumnya telah di kupas secara jelas pada bagian Ciri badan dan sifat pelaksana dan Komunikasi antar organisasi terkait dengan pelaksanaan organisasi pemerintahan. Sikap pelaksana sangat menentukan kinerja dan implementasi dari kebijakan itu sendiri, namun sikap pelaksana sangat di pengaruhi oleh karakteristik organisasi dan komunikasi antar organisasi dan pengaruh lingkungan secara ekternal (keadaan Ekopol).  Point-nya adalah, pemerintah secara organisatoris tidak konsisten terhadap kebiajakan Moratorium itu sendiri dengan munculnya berbagai kebijakan yang kontradiksi dengan Moratorium, sehingga Moratrium PNS bagi kami hanya merupakan permaianan politik belaka yang suatu saat di gunakan sebagai senjata pamungkas untuk membentuk pencitraan.

D.  Pendekatan Keperilakuan (Behavioral Approaches)

Perilaku manusia beserta segala sikapnya harus pula dipengaruhi kalau kebijaksanaan ingin dapat diimplementasikan dengan baik. Pendekatan keprilakuan diawali dengan suatu kesadaran bahwa seringkali terdapat penolakan terhadap perubahan (resistence to change). Dalam kenyataannya, alternatif-alternatif yang tersedia jarang sekali yang sederhana seperti menerima atau menolak, dan sebenarnya terbentang spektrum kemungkinan reaksi sikap, mulai dari penerimaan aktif hingga penerimaan pasif, acuh tak acuh, dan penolakan pasif hingga penolakan aktif.

Jika kebijakan moratorium PNS di dekati melalui pendekatan keperilakuan (behavioral) maka sesuai dengan penjelasan di atas, bahwa ada kecenderungan untuk terjadinya resistence to chenge atau penolakan terhadap kebijakan ini khususnya pada level local government. Otoritas pemerintahan daerah yang semakin besar dalam proses rekrutmen PNS khususnya  penentuan kululusan Pegawai, membuat proses rekrutmen ini seringkali menjadi lahan basah bagi pemerintah daerah untuk melakukan KKN. Keadaan yang demikian membuat pemerintah daerah akan lebih cenderung mempertahankan status quo nya seperti yang selama ini terjadi. Karena moratorium telah berlangsung, maka kecenderungan pemda untuk membuka peluang penerimaaan Pegawai tidak tetap semakin besar yang tentu saja pada prinsipnya kontrdiktif dengan semangat penghematan anggaran belanja pegawai yang melekat pada moratorium PNS itu sendiri.

E.   Penutup

Dari Analisis model implementasi kebijakan moratorium PNS dengan Teori Van Meter dan Van Horn di atas dapat kami simpulkan bebarapa poin penting sebagai berikut.
a)   Alasan yang paling mendasar dalam pelaksanaan penghentian perekrutan PNS karena  komposisi belanja daerah saat ini umumnya sudah tidak sehat. Kebijakan moratorium PNS di maksudkan untuk menata kembali menajemen kepegawaian terutama jumlah PNS yang semakin banyak jika setiap tahun di lakukan penerimaan CPNS. Akan tetapi Moratorium PNS yang di lakukan oleh pemerintah pusat itu tidak efektif dan konsisten karena, hal ini dapt dilihat dari Kebijakan Pemerintah Pusat yang tercermin dalam RAPBN 2013. Anggaran Negara yang habis hanya untuk membayar gaji PNS saja Rp 547 triliun, atau sekitar 30 persen lebih dari total RAPBN 2013 (Rp1.600Triliun). Itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk ongkos administrasi dan operasional, seperti untuk mebiayai perjalanan dinas luar kota hingga ke luar negeri.
b)   Ciri Badan Dan Sifat Instansi Pelaksana Kebiajakan (Birokrasi) yang masih terjebak pada sistem yang rigid, Model organisasi OPA, tidak fleksibel serta patologi birokrasi lainnya yang semakin mempersulit implementasi kebijakan pemerintah.
c)   Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antar Organisasi pemerintahan (Lembaga Kementrin, Non Kementrian, dan Pemda) dalam Impelementasi Kebijakan Moratorium PNS.
d)  Inkonsistensi dalam implementasi kebijakan Moratorium serta belum adanya desain menajemen PNS yang lebih mengindikasikan Kebijakan Moratorium sangat sarat akan muatan politis.
e)   Implementasi Kebijakan Publik moratorium PNS jika di analisis dari perspektif model implementasi Van Meter dan Van Horn, menurut hemat kami tidak akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang di harapkan.

 -------------------------------
[1] EE Mangandaan :  http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=3716
[2] Dr. Riant Nugroho, 2009. Public Policy, PT Elex Media Komputindo kelompok Gramedia, Jakarta
[3]. Dr. Solichin Abdul Wahab, M.A “Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan Negara” Bumi Aksara, 2008, Jakarta. 
[4] Solichin Abdul Wahab, Ibid
[5] Lihat....!!! Agus Dwiyanto Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
[6] Lihat Uraian latar belakang dan Tujuan Kebijakan Moratorium PNS.