Baca Juga

Meminjam pribahasa latin, berbunyi: fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum); yang artinya; hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun juga langit runtuh karenanya).[1] Pribahasa latin tersebut menyiratkan suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan bersama. Kehidupan yang memiliki kehendak kuat untuk menyajikan seperangkat teks keadilan berdasarkan cita-cita hukum suatu bangsa. Lebih dari itu untuk meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa untuk berdaptasi dengan struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum sangat dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang diperjuangkan.
Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum.[2]
Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Dengan kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas sesui pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum. Huijbers menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum:[3]
Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya
Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan seringkali dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku lagi.
Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenamya bertindak di luar wewenangnya yang tidak sah secara hukum.
Khan, seorang Professor and Head Department of Political Science Univesity of Sind sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori, mengunggkapkan:
Every state has undertaken to eradicate the scourges of ignorance disease, squalor, hunger and every type of injustice from among its citizens so that everybody may pursue a happy life in a free way.
Dari ungkapan tersebut tergambar sebuah pengertian, bahwa tujuan akhir hukum berupa keadilan harus dicapai melalui sebuah institusi legal dan independen dalam sebuah negara. Hal tersebut menunjukkan pentingnya mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara (manusia) sebagai orientasi hukum. Terutama setelah perang dunia kedua, seringkali akibat pengalaman pahit yang ditinggalkan kaum Nazi yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membentuk undang-undang yang melanggar norma-norma keadilan, makin banyak orang yang sampai pada keyakinan bahwa hukum harus berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan, untuk dapat dipandang sebagai hukum. Bila tidak, maka hukum hanya pantas disebut sebagai tindakan kekerasan belaka.[4]
Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah cultural.[5] Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan substantif, maka seorang dengan kelebihan materil akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada yang tidak.[6]
Apabila kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-orang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilan belas, filsafat liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan substansial (substantial justice).[7]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan”. Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan. Konkritnya kepada yang mohon keadilan apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya. Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.
Jadi, para hakim dituntut untuk secara totalitas melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh,[8] seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu: ‘perilaku.’ Undang-undang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang.”
Jika kita amati potret penegakan hukum di Indonesia saat ini belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum.[9] Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri.
Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya aparat penegak hukum itu sendiri.[10] Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.[11]
Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan tersebut mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.
Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedapankan tiga tujuan hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian, pada akhirnya tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum dan Ketertiban) tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice (Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilan dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya lembaga pengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat.[12]
Menciptakan penegakan hukum yang adil bukanlah semudah membalikkan telapak tangan atau cukup dengan mantera “sin salabin”, ataupun dengan menerapkan apa yang ada dalam undang-undang (rule in the book) tetapi juga harus memperhatikan hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law). Hal ini karena sesuatu yang adil menurut undang-undang belum tentu adil pula menurut masyarakat. Maka sudah selayaknya Negara ini mengubah cara berhukumnya dari cara berhukum yang positif-legalistik atau cara berhukum yang hanya mengeja undang-undang.[13] Salah satu solusinya mungkin kita dapat menerapkan hukum progresif, seperti yang dicanangkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo misalnya.
Gagasan hukum progresif, memposisikan hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Oleh karena itu menurut Prof. Tjip[14] kendatipun berhukum itu dimulai dari teks undang-undang tetapi selanjutnya pekerjaan berhukum itu diambil-alih oleh manusia. Artinya manusia itulah yang akan mencari makna lebih dalam dari teks-teks undang dan kemudian membuat putusan. Berhukum secara progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum. Kalau dikatakan, bahwa menjalankan hukum itu adalah menciptakan keadilan dalam masyarakat, maka berhukum itu adalah upaya untuk mewujudkan keadilan tersebut.
[1] Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008), hal. 87.
[2] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalatn Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 70.
[3] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum….., Op.Cit., hal. 53.
[4] Theo Huijbers, Op.Cit., hal. 71.
[5] Eman Suparman, Persepsi tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa, Makalah, TT. hal. 4.
[6] Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”; dalam Makalah Seminar Nasional ‘Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi’, PDIH-Undip Angkatan V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000, hal. 8.
[7] Eman Suparman, Op.Cit., hal. 5.
[8] Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hal. 29.
[9] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, (Yogyakarta: antonyLip, 2009), hal. 66.
[10] Negara Indonesia adalah negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam konstitusi kita UUD Negara RI 1945 pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam amandemennya yang ketiga, Agustus 2001 silam. Sehingga seharusnya seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara kita harus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya hukum harus dijadikan panglima dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan individu, masyarakat dan Negara. Tetapi sampai saat ini dalam kenyataannya masyarakat seperti tidak percaya kepada hukum sebagai satu-satunya solusi atas permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Mungkin hal ini disebabkan karena sudah sangat kronisnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum, istilah ini tidak lazim dipakai dalam bahasa Indonesia dimana penyumbang terbesar krisis tersebut adalah dari para penegak hukumnya sendiri.(Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum…, Op.Cit., hal. 155-156)
[11]Ibid., hal. 156.
[12] Zudan Arif Fakrulloh (Dosen Pascasarjana UI, STIH IBLAM, UNTAG Surabaya, UNTAN Pontianak, STIE Stiekubank Semarang,Universitas Borobudur Jakarta, dan UMM Malang), Makalah, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, dalam Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: hal. 26.
[13] Cara berhukum seperti ini tak ubahnya ibarat menarik garis lurus antar dua titik, titik yang satu adalah “pasal” undang-undang dan titik yang yang satu lagi adalah fakta yang terjadi. Segalanya berjalan secara linear, sehingga mengakibatkan cara berhukum seperti mesin otomatis. (Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks, dalam Satya Arinanto, dkk., (ed.), Memahami Hukum dari Konstuksi sampai Implementasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 3.)
[14] Ibid., hal. 4.