Baca Juga
KONSEP GOOD GOVERNANCE
Sejarah, Otokritik, dan Implementasinya di Indonesia
Munculnya governence menggeser kata government dalam kajian administrasi publik memiliki sejarah yang panjang. Transformasi government sendiri sepanjang abad ke-20 secara kronologis berlangsung melalui beberapa tahap.
Tahap I adalah era abad ke-20 yang ditandai dengan konsolidasi
pemerintahan demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II
berlangsung pada pasca Perang Dunia I, yang ditandai dengan semakin menguatnya
peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil dominan, yang melancarkan regulasi
politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat terhadap ruang-ruang
politik dalam masyarakat.
Tahap III, era tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser
perhatian ke pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga. Era itu adalah perluasan
proyek developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia
Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada saat yang sama
pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya negara dan hadirnya rezim
otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Tahap IV, memasuki
dekade 1980-an, yang ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara yang
melanda dunia. Di Amerika ketika Reagan naik menjadi presiden maupun di Inggris
ketika diperintah Margaret Tatcher, menghadapi problem serius tersebut. Di
Indonesia juga menghadapi krisis ekonomi yang dimulai dengan anjloknya harga
minyak. Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”,
yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan
publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan
pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal,
dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta.
Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi
(yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang luas seantero jagad. Pada era
ini muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan, yang ditandai munculnya
governance dan good governance. Perspektif yang berpusat pada government
bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti IMF dan World
Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai
mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.
Konsep good governance menjadi sangat populer digunakan oleh
badan-badan donor internasional, yang sekarang diakui sebagai manifesto politik
baru. Analisis Bank Dunia menekankan pentingnya program governance, yang di
dalamnya mencakup kebutuhan akan kepastian hukum, pers yang bebas, penghormatan
pada HAM, dan keterlibatan warga negara dalam organisasi-organisasi sukarela.
Menurut Lancester (1990), program governance itu memusatkan perhatian pada
reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah; privatisasi badanbadan milik
negara; dan perbaikan administrasi bantuan keuangan.
Governance di sini lebih diartikan sebagai hal kekuasaan
yang ditujukan dalam manajemen sumberdaya sosial dan ekonomi negara untuk
pembangunan (World Bank 1989: 60). Pengalaman Afrika pasca krisis utang dan
pasca perang dingin telah menjadi latar belakang dan iklim yang melukiskan
desakan kekuatan pasar bebas dan demokrasi liberal. Good governance dalam
konteks tersebut adalah imposisi politik hukum yang dikendalikan negaranegara
industrial dan agen internasional (lembaga maupun Negara donor) dalam membentuk
ketatapemerintahan yang berselerakan pasar (Stokke 1995; Gathii 1998). Inilah
good governance yang lahir dari rahim agenda besar globalisasi yang
dikonstruksi ideologi neo-liberal.
Menurut hemat penulis, munculnya governance tak lain
hanyalah merupakan wujud dari bentuk imperalisme yang di bangun oleh
negara-negara maju (Amerika Serikat) dalam menekan atau mendikte negara-negara
berkembang, krisis yang terjadi pada
dekade 80an ini menjadi pintu masuk bagi negara imperalisme untuk
menekan negara-negara yang wujudkan dengan prasyarat-prasyarat tertentu yang
harus di penuhi oleh negara-negara berkembang untuk mendapatkan pinjaman dana
dari lembaga donor internasional. Prasyarat
itu di anataranya adalah reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah;
privatisasi badan-badan milik negara; dan perbaikan administrasi bantuan
keuangan serta kebiajakn-kebijakan yang harus pro terhadap market.
Governanace merpakan konsep perbaikan tata pemerintahan yang
di susupi oleh kepentingan ekonomi, jika di kaji lebih jauh tentang pilar
governance itu sendiri yang terdiri dari tiga aktor utama yakni negara,
masyarakat dan swasta (pasar), maka terlihat jelas bahwa kepentingan ekonomi
bermain pada ranah swasta. Negara di haruskan untuk membuat kebijakan dan
menguatkan peran swasta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih jauh peran
pasar tersebut di terjemahkan oleh lembaga IMF dan Bank Dunia dengan paket
kebijakan di antaranya, pelaksanaan kebijakan anggaran yang ketat termasuk
penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, pelaksanaan liberalisasi
sektor keuangan, liberalisasi sektor perdangan (pasar bebas), dan privatisasi
BUMN. Dengan demikian negara berkembang dan negara miskin akan semakin di
miskinkan dengan kebijakan ini karena tidak memiliki capacity yang memadai
untuk memproteksi lajunya bencana ekonomi yang di bungkus dalam kemasan
perbaikan tata pemerintahan (governance). Setiap negara seharusnya bersikap
tegas untuk dapat memfilterisasi kuatnya
dampak ekonomi dalm pereapan governance, sayang kita terlalu terjebak dan
terlena dengan kata good yang melekat pada kata good governance itu sendiri
yang pada dasarkan mengabstrakan kepentingan terselubung (imperalisme) dari
konsep governance itu sendiri.
Pihak manakah yang di untungkan dan mana yang di rugikan
terhadap penerapan governance?. Ini merupakan pertanyaan yang sangat penting
karena melalui pertanyaan ini kita dapat menyelem masuk lebih jauh untuk
mengetahui kepentingan-kepentingan terselubung di balik mega proyek governance
ini. Pada uraian di atas telah di
jelskan bahwa governance semenjak kelahirannya merupakan rekayasa globalisasi
dan kapitalisasi negara-negara maju (negara donor) untuk memperlemah dan
menjarah negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang mengalami krisis
finansial. Dengan pemaksaan syarat-syarat untuk mendapatkan pinjaman (wasinton
Consensus), di antaranya membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pasar,
privatisasi, dan seperangkat kebijakan lainnya yang tentu saja menggerogoti
kedaulatan ekonomi negara-negara berkembang. Dari argumentasi tersebut terlihat
secara jelas bahwa pihak yang di untungkan dalam penerapan governance ini tak
lain adalah Amerika dan sekutunya sebagai pengendali lembaga donor
internasional sebagai pihak yang sangat berkepentingan untuk menajaga hegemoni
ekonomi internasionalnya. Pihak yang di rugikan tentu saja negara-negar
berkembang dan negara miskin yang APBN nya tersandra oleh hutang luar negeri
yang suka maupun tidak suka harus melaksnakan kebijakan-kebijakn pro pasar yang
telah di tetapkan, termasuk Indonesia.
Bagaimana implementasi governance tersebut dalam konteks di
Indonesia? Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek governance yang
cukup sukses adalah terkait dengan kesuksesan model negara pembangunan
(developmental state model) diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia
Timur dan Asia Tenggara (Tshuma 1999; White 1987; Wade 1990). Pendapat lainnya
mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah melesat setelah runtuhnya komunisme
dan membangun suatu suasana kondusif bagi kelahiran governance sebagai sebuah
isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme sebagai ideologi dominan mencoba
untuk mengkonstruksi ‘politically lock-in neo-liberal reforms’ (Gill 1997).
Kedua pendapat di atas relevan dengan kemunculan good
governance di Indonesia, karena selain kebijakan pemerintah yang
berorientasikan pembangunan semasa Orde Baru, dukungan Bank Dunia dan IMF dalam
mengguyurkan utang yang disertai persyaratan-persyaratan khusus melengkapi
posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar. Tetapi bila
dilihat secara lebih dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa
good governance bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan
untuk menghasilkan mesin yang halus dan efektif bagi upaya liberalisasi pasar.
Hukum sebagai instrumentasi politik dipakai sebagai legalisasi beroperasinya
mesin kekuasaan tersebut, sehingga jauh dari cerminan rasa keadilan dan
perlindungan terhadap kaum proletar.
Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di
Indonesia melalui tiga pintu: (i) CGI (Consultative Group on Indonesia); (ii)
Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance
Reform); dan (iii) Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI, Bank Dunia
memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan (mendikte) kebijakan ekonomi
(termasuk desakan pembentukan peraturan perundang-undangan). Ini bisa terjadi
karena pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga prasyarat utang
tersebut harus dipenuhi sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula
bekerja secara dekat dengan UNDP dan ADB sebagai sponsor dana utama untuk
Partnership for Governance Reform (World Bank 2003a).6 Melalui forum kelompok
multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat aktif dalam
membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for
development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan
lembaga pemerintahan baru (World Bank 2003b).
Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran hegemoninya
sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan oleh tidak
saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah. Sedangkan Justice
for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank Dunia
dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah
strategi pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum. Bagi Bank Dunia,
program-program pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan hal penting
dalam mewujudkan kaum miskin atas akses keadilan. Namun yang menjadi soal
adalah akses keadilan tersebut lebih ditujukan pada efisiensi berlakunya sistem
hukum yang mengarah pada kepentingan, sekali lagi, pasar bebas. Dalam urusan
pemantauan korupsi, Bank Dunia sendiri memilih menfokuskan lebih banyak pada
proyek-proyek yang didanainya sendiri (World Bank 1997a: 29-34), semacam Proyek
Pengembangan Kecamatan (PPK).
Yang menarik, kedua institusi terakhir menjadi kendaraan
Bank Dunia untuk ikut pula mempromosikan hak-hak asasi manusia di Indonesia.
Proyek pembaruan ketatapemerintahan melalui good governance cenderung untuk
melayani promosi konsensus pembaruan sosial dan ekonomi, khususnya dengan
mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal partisipasi. Di
titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hakhak asasi manusia lebih
menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut ‘market friendly
human rights paradigm’ (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar).
Muncul dan berperannya Justice for the Poor di Indonesia
adalah tak terpisahkan dengan program global dalam Poverty Reduction Strategy
Papers (PRSPs) yang disponsori Bank Dunia. PRSPs telah mengaplikasikan proyek
dan mekanisme seragam untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara ketiga.
PRSPs yang demikian harus diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima
pinjaman. Berdasarkan laporan Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok,
PRSPs telah mempromosikan kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar,
perdagangan terbuka, investasi, rezim finansial, dan mendesakkan peran negara
agar menghapus perusahaan-perusahaan milik negara (Chavez and Guttal 2003:
13-14). Dari sisi tersebut, maka menunjukkan secara inheren terjadi
kontradiksi, bagaimana bisa proyek anti kemiskinan dapat diukur menegaskan pada
liberalisasi pasar dan pertumbuhan ekonomi tinggi bila proyek tersebut secara
struktural telah menyingkirkan hak-hak kaum miskin? Jelaslah, proyek yang
inkoheren dan ambigu (Wiratraman 2006: 67).
Strategi Bank Dunia untuk mempertahankan hegemoninya adalah
dengan mereproduksi pengetahuan soal rasionalitas good governance sehingga
memudahkan bekerjanya teknologi kekuasaannya melalui berbagai pintu masuk di
level negara, non negara maupun kemitraan keduanya. Realitasnya, wacana-wacana
ketatapemerintahan, pembaruan hukum dan kebijakan publik lainnya dikonstruksi
dengan mengikutsertakan demokrasi, hak asasi manusia, anti kemiskinan,
antikorupsi, yang kesemuanya terasa cocok dengan suasana (perangkap) reformasi
yang sudah dikendalikan pendukung neo-liberal. Semakin lengkap adalah teknologi
kekuasaan modalnya yang mampu memistifikasi ketidakseimbangan kekuasaan dan
menyedot perhatian arah reformasi yang ‘good’, melalui program pendanaan ke
sejumlah institusi negara, organisasi non-pemerintah, serta kampus-kampus
melalui pusat-pusat studi governance. Godaan untuk mengakses dana proyek
governance tersebut terlampau besar, sehingga tidak sedikit yang mengubah pula
rencana dan pola kerja organisasi penerima dana tersebut. Donor-driven hegemony!
Pendapat saya tentang Governance ini akan saya mulai
terhadap kritik Ali Farazmand terhadap konsep governance sebagai berikut. Bila
kita memahami kembali kutipan diawal pendahuluan pernyataan Presiden Tanzania
Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB sepuluh tahun lalu, beliau dengan
lantang telah mengkritik habis-habisan good governance yang dikatakannya
sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good governance hanya akan
mengerdilkan struktur negara berkembang, sementar kekuatan bisnis dunia makin membesar.
Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik tersebut mengilhami
Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG) yang
sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah good
governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat
nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya
dengan negara miskin melalui agenda Sound Governance. Konsep Sound Governance
merupakan konsep baru yang ]auh lebih komprehensif dan reliable dalam menjawab
kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar kesalah kaprahan dari good
governance. Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana Sound
Governance.
Pertama, dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance
bahwa aktor kunci yang berperan adalah terfokus pada tiga aktor (pemerintah,
pasar dan civil society), dan good governance selama ini lebih
merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara
domestik. Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan
empat aktor, yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance
yaitu inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang
sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional
di sini mencakup korporasi global, organisasi dan per]an]ian internasional.
Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance kehidupannya hanya
berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di
negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat
naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga
elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia
internasional. Bahkan Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebut good
governance sebagai bagian dari praktik penyesuaian struktural (structural
adjustment programs/SAPs), berikut pernyataannya :
Kedua, bermula dari kritik terhadap identitas dari good
governance kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga
dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term „good‟ dalam good governance adalah
westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance mempunyai
pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman
konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai dasar budaya
pemerintahan tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan
kebesaran kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat,
memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan, berikut
pernyataannya :
Berdasarkan apa yang disampaikan Ali Farazmand bahwa
pentingnya sistem pemerintahan yang berbasis pada budaya lokal sudah mulai
banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia ketiga termasuk di
Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi modern
Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya
good governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem
pemerintahan. Sound governance muncul untuk memberikan peluang dalam
menyelamatkan keragaman kebudayaan lokal dalam mewarnai konsep tata
pemerintahan.
Ketiga, dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya
proses tata pemerintahan yang baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan
harus menjalankan prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance yaitu:
participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus
orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic
vision. Sound Governance mempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada
proses menuju tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana
(prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam
sound governance masih menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal
terkait demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari
sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan “inovasi” yang
kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek pemerintahan.
Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance sebagai
wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, yaitu memberikan makna
term “Sound” menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan terhadap
kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound governance dalam tata
pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka kembali
peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni
terma „good‟ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional.
Sound Governance menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya
banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound
governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi
lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan
kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang
kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.
Kritik Ali Farazmand (2004) terhadap konsep governance
kiranya perlu mendapat perhatian serius bagi para pemerhati kajian ilmu sosial
dan politik serta praktisi ekonomi di dunia, terutama ketika konsep ini tak
mampu untuk menjawab krisis pangan yang terjadi dinegara-negara afrika. menurut
hemat penulis sebagaimana penekanan Ali Farazmand pada lingkungan dimana
governance itu di jalankan, penting kiranya bagi kita untuk tidak menutup mata
dalam melihat pengaruh lingkungan internasional selain faktor relasi
pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan lebih membuka peluang untuk melihat
lebih jauh tentang pengaruh lingkungan internasional, negara berkembang dapat
mengatur dan memproteksi diri terhadap pengaruh negatif tersebut.
Dengan konsep Sound Governance Ali Farazmand mempunyai
pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya penghormatan atas
keragaman konsepsi birokrasi dan tata pemerintahan, utamanya nilai dasar budaya
pemerintahan tradisional yang telah terkubur.
Artikel Lainnya:
Artikel Lainnya: