Baca Juga

Indonesia diantara federalisme dan republik demokrasi

Indonesia adalah negara yang sudah lama dicita-citakan, realisasinya berupa bentuk republik yang berarti kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi karena banyaknya pulau dan provinsi yang ada di Indonesia, maka timbulah perdebatan tentang Indonesia yang harus berbentuk republik ataukah federal.

Satu arti yang relevan untuk Indonesia tentang federalisme, “federalism as covenant” (Ferrarzzi 2000, 66).Federalisme memang sempat diberlakukan di Indonesia dengan kurun waktu yang sangat singkat, hanya untuk satu tahun saja, yakni pada tahun 1949–1950 (Ferrarzzi 2000, 66).  Hal itu diberlakukan karena merupakan tuntutan dari Belanda pada waktu itu, hingga munculah istilah divide et impera”. Istilah ini merupakan strategi licik Belanda untuk mengadu domba pemerintahan Indonesia dengan strategi yang dipertimbangkan dari segi politik, ekonomi, dan militer. Politik adu domba ini memiliki maksud untuk mempertahankan kekuasaan Belanda dengan cara memecah–belahkan kelompok–kelompok besar sehingga mengerucut menjadi kelompok–kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan oleh Belanda.

George Kahin menunjukan bahwa sebagian orang Indonesia sangat tidak puas dengan sistem federal, rakyat Indonesia merasa terbebani dengan Perjanjian Den Haag (Ferrarzzi 2000, 66). Menurut Kahin, kembali lagi kepada cita-cita rakyat Indonesia yang ada pada UUD 1945 dan begitu pula seperti yang dianggap oleh founding father dari Indonesia adalah untuk membentuk negara kesatuan yang berbaur dari berbagai daerah yang beragam, pada akhirnya konsolidasi domino-style di reintegrasi kedalam negara kesatuan yang terjadi pada tahun 1950an merupakan dinamika dari respon elit kekuasaan karena “mereka” adalah hasil dari kesadaran rakyat masyarakat dan juga merupakan sentiment positif terhadap pemerintah kesatuan, namun tetap saja ada kesulitan yang dihadapi dalam membingkai konstitusi dari Perjanjian Den Haag, yakni terbukti bahwa Indonesia kurang adanya kesepakatan tentang peran dan bentuk negara (Ferrarzzi 2000, 66-67)

Dalam buku yang berjudul “Kedaulatan Rakyat, Otonomi, dan Daerah” karya dari tokoh besar kemerdekaan Indonesia, yakni Mohammad Hatta. Hatta lebih banyak menceritakan tentang kedaulatan rakyat. Menurut orang awam kebanyakan, kedaulatan rakyat sering dipahamkan bahwa rakyat yang terdiri dari beberapa golongan–golongan boleh bertindak sekehendaknya sendiri, karena yang seperti kita ketahui, kedaulatan ada pada rakyat dan maka dari itu rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan (Hatta 2014, 3). Memang benar adanya bahwa dalam kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi dalam mengatur pemerintahan, namun apa yang rakyat pikirkan atau keputusan yang rakyat putuskan tidak semuanya selalu dianggap benar dan dilampirkan dalam peraturan negara, tetapi harus melewati seleksi dari keputusan mufakat. Jadi, kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijadikan oleh rakyat atau atas nama rakyat diatas dasar permusyawaratan (Hatta 2014, 7). Dari Aristoteles Hatta dapat menyimpulkan bahwa pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan yang teguh, karena tanggung jawab dijunjung bersama (Hatta 2014, 9)

Namun jika sistem pemerintahan kedaulatan rakyat atau yang saat ini bisa disebut dengan demokrasi, tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri, maka rakyat akan berani menentang dan dengan ini akan menimbulkan adanya anarki, ketika anarki mulai ada maka akan digantikan dengan monarki yang memimpin. Dalam hal ini, penulis mengambil contoh dari sejarah Jerman pada tahun 1919 di Weimar, terdapat peperangan partai antara kaum komunis dengan sosial-demokrat yang menjadi penyebab timbulnya gerakan Nazi yang dipimpin oleh Adolf Hitler, pada akhirnya republik Weimar roboh dan Nazi berkuasa di Jerman (Hatta 2014, 17). Berdasarkan pengalaman yang didapatkan di benua Barat, dan bersendi pula kepada susunan masyarakat desa Indonesia yang asli, kita dapat mengemukakan kedaulatanrakyat yang lebih sempurna untuk dasar pemerintahan Negara Republik Indonesia karena kedaulatan rakyat meliputi dua demokrasi pokok, yakni: demokrasi politik dan demokrasi ekonomi (Hatta 2014, 22

Negara kita adalah negara yang demokrasi dan kolektivitet. Demokrasi kita bukan hanya demokrasi politik saja, tapi juga bercorak sosial, tujuannya yaitu “kemerdekaan manusia”. Namun jika demokrasi yang bertingkat dengan sendirinya akan menjadi sistem hierarki, bukanlah demokrasi lagi (Hatta 2014, 66). Dengan adanya sistem hierarki, maka rakyat yang berada dibawah akan tertindas, sehingga tidak ada lagi kesetaraan dan kapitalis akan semakin tinggi.

Dari penjabaran diatas, penulis menyimpulkan bahwa Indonesia tidak cocok menggunakan sistem federalis. Karena jika Indonesia menggunakan sistem pemerintahan yang federal, maka Indonesia akan terpecah belah. Seperti yang terjadi pada Timor Leste yang meminta berpisah dari Indonesia pada tahun 1998an, dan lebih memilih untuk mendirikan negara sendiri. Sebenarnya, bagi penulis Indonesia bisa menggunakan sistem pemerintahan federalis, jika dan hanya jika Indonesia memiliki alat pemersatu yang kuat dan tetap dipegang teguh dan juga apabila Indonesia sudah menjadi negara maju dan sedang tidak terombang-ambing dalam krisis internal. Namun jika menurut Hatta, Indonesia lebih memilih kepada sistem pemerintahan demokrasi yang berlandaskan kedaulatan rakyat. Menurut penulis sendiri, implementasi dari sistem pemerintahan indonesia yang demokrasi masih belum berjalan dengan baik dan sempurna seperti pada visi awalnya. Penulis sendiri masih sering menemukan kasus yang tidak menggambarkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Penulis sendiri lebihcenderung berpihak pada sistem yang telah di jabarkan oleh Tan Malaka pada bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia yang ditulis pada tahun 1925, bahwa Indonesia lebih baik menganut sistem pemerintahan yang Republik federal. Maksud yang dapat penulis tarik benang merahnya adalah Indonesia terdiri dari provinsi-provinsi yang terpisahkan oleh lautan dan terdiri dari pulau-pulau, maka lebih baik lagi jika setiap provinsi atau daerah-daerah yang ada di Indonesia memiliki kekuasaan sendiri untuk daerahnya. Namun, meskipun tiap provinsi atau daerah memiliki kekuasaan sendiri, harusnya juga tetap ada kontrol dari pemerintahan pusat.

Artikel Lain:

Referensi :
Ferrarzzi, Gabriele. 2000. Using “F” Word: Federalism in Indonesia’s Decentralization Discourse, Publius, Vol. 30, No. 2
Hatta, Mohammad. 2014. Kedaulatan Rakyat, Demokrasi, danOtonomi. Bantul: KreasiWacana
Malaka, Tan. 1925. Naar de Republiek Indonesia.Yayasan Massa.