Baca Juga
Proses-proses politik sebagaimana
telah diuraikpin terdahulu •bagai landasan konseptual) oleh Rush & Althoff
(1995: 22-25) esungguhnya harus dipahami sebagai proses politik yang melahirkan
timbal balik antara masyarakat satu pihak dan politik di pihak lain.
Melalui sosialisasi politik, masyarakat akan mengenali
suatu sistem politik yang berlaku di sekitarnya sehingga masyarakat inemberikan
reaksi terhadap gejala-gejala dari sistem politik itu. Di sini masyarakat akan
mengetahui proses polilik dari segi strukturnya, perilaku yang dikehendakinya
dan lain sebagainya. Pemilihan umum (Pemilu) sebagai bagian dari proses politik
di Indonesia akan dapat diikuti tahapan-tahapan dengan baik apabila masyarakatnya
telah mengenali Pemilu dari segi keharusan-keharusannya dan dari segi
larangan-larangannya. Pengenalan ini sangat berguna bagi masyarakat, yakni
mengenali, dan bagi proses politik telah memiliki ruang untuk dikenali
masvarakat sehingga proses politik tidak canggung untuk disosialisasikan.
Begitu pula yang terjadi pada partisipasi politik, suatuu
proses politik akan berjalan baik dan akan memberikan makna bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat manakala masvarakat
akan berarti bagi masyarakat itu sendiri dalam rangka menghapus kesan dirinya
terasingkan dalam proses politik yang akan dijalankan oleh negara umpamanya.
Hal
yang sama terjadi pada pengrekrutan politik. Dengan pengrekrutan maka sistem
politik akan kuat, mendapatkan dukungan dan mendapatkan wilayah geraknya.
Dengan direkrutnya masyarakat ke dalam proses politik, maka masyarakat akan
menemukan legitimasi dan kewibawaan dalam menentukan aktulisasi peran dirinya
tanpa merasa berposisi yang dikesankan masyarakat dan bernegara” di zaman kuno
sebagaimana tlilukiskan oleh Larry Siedentof (dalam Miller & Siedentof,
1986) Pada komunikasi politik, timbal balik
masyarakat dan proses –Politik barangkali dapat disebut sebagai timbal balik
yang paling mudah menemukan wujudnya. Pengrtian-pengertian, harapan, janji,
ancaman yang dikeluarkan masyarakat untuk negara atau partai politik, atau oleh
negara dan partai politik kepada masyarakat sesuatu yang paling mungkin terjadi
melalui komunikasi politik. Di sini harus diakui bahwa komunikasi politik tak
sekedar media penyerapan informasi, lebih dari itu sebagai arena pemupukan
kesadamn bagi masyarakat dan bagi proses politik itu sendiri. Faktor tingkah
laku masyarakat yang dapat dipahami dengan baik oleh sebuah proses politik yang
dijalankan, akan berguna sebagai referensi tindakan-tindakan politik yang
nontinya baik input maupun output berguna bagi masyarakat dar. efektif bagi
proses itu sendiri.
Timbal balik antara masyarakat dan proses politik itu
secara niscaya dapat dikatakan agar proses politik tidak berjalan
sekehendaknya, melainkan atas
dasar pertimbangan-pertimbangan masyarakat baik yang berposisi
selaku subjek politik maupun objek politik. Secara mengesankan Magnis-Suseno
(1986:152) mengatakan sebagai berikut: “Pembangunan politik harus yang dituntut
oleh pendekatan sistem bekerja sama dengan dan berdukung pada
subsistem-subsistem yang ada, pada kekuatan-kekuatan yang bekerja. Pembangunan
politik tidak secara kasar mencampuri proses-proses hidup, melainkan penuh
hormat, dalam kesadaran tahu diri, menyesuaikan diri dengan apa yang sudah
ada.”
Kutipan di atas mencerminkan bahwa
agar proses politik memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakat, maka
proses politik hendaklah memperhatikan realitas kultural masyarakat itu
sendiri. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia pernah melakukan tindakan politik
(yang tak sekedar tindakan ekonomi) dengan mengesahkannya SDSB. Masyarakat
Indonesia yang agamis menolaknya dan karenanya timbul gelombang unjuk rasa yang
amat dahsyat. Pemerintah menarik kembali SDSB. Contoh ini menunjukkan bahwa
proses politik yang diambil oleh suatu kelompok atau pemerintah yang proses itu
bertentangan dengan masyarakat, maka akan menimbulkan anarkis yang
menggetirkan. Dan hal ini sebagai bukti bahwa suatu proses politik yang tak
mencerminkan hubungan timbal balik antara kepentingan politis disatu pihak dan
kepentingan masyarakat pada pihak lain akan berakhir secara mengenaskan.
Dengan adanya timbal balik itu, secara gamblang diakui
oleh Clifford Geertz (1992: 144), bahwa proses-proses politik tak sekedar
menampakkan wujud institusi formalnya, namun lebih dari itu proses politik akan
memaklumi setiap kehendak masvarakat, dan seyogyanya kehendak itu dijabarkan
oleh proses politik itu sendiri. Sebab, apa vang dikhawatirkan oleh Geertz,
apabila proses politik sudah mengenvampingkan realitas kultural realitas
masyarakat, walaupun proses proses politik dirasakan sangat penting, maka
dengan sendirinya masyarakat dapat mengenyampingkannya bahkan mungkin secara
mengkristal berbuntut perlawanan.
Suatu
hubungan timbal balik akan dirasakan oleh masyarakat dan negara dalam melakukan
proses politiknya, menurut Vie George Paul Wilding (1992: 21) apabila proses
politik tak sekedar mencerminkan para elite strategis negar itu saja, lebih
dari itu harus ada kesediaan untuk mencerminkan kehendak masyarakat, walau
mungkin kehendak itu secara relatif dipandang menghalangi proses politik
yangseharusnya. Di sini, negara, tegas George & Wilding, tinggal memilih
sebuah konsekuensi yang termudah; apakah mengenyampingkan kehendak politiknya
atau justru kehendak masyarakatnya. Kendati jalan mengkompromikan jelas lebih
baik karena pada upaya itu upaya timbal balik dapat din-iaknai secara lebih
mengesankan, teruji dan terpuji.
Jalan ke luar di atas sangat penting, mengingat kehidupan
politik menurut Ibnu Khaldun (dalam Zainuddin, 1992: 93), dengan segala
kelebihan dan kekurangannya adalah suatu keharusan dalam kehidupan masyarakat.
Tanpa kehidupan dan proses politik yang timbal balik, maka kehidupan masyarakat
tak akan teratur. Tolong-menolong untuk kepentingan mencapai tujuan bersama
tidak akan terealisasikan. Karena itu, proses politik harus dipahami sebagai
mekanisme yang menjadikan masyarakat segala kehidupannya berjalan lancar.
Dengan demikian, timbal balik antara masyarakat dan
proses Politik itu tidak semata-mata diukur oleh saling pengertian dan memahami
hakikat masyarakat dan hakikat politik yang dijalankan, namun lebih dari itu
memahami dan memenuhi keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan.
Bahwa masvarakat hendaklah menjalankan fungsinya sesuai dengan proses politik
vangdijalankan , dan proses politik yangada hendaklah merupakan refleksi dari
merealisir keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan vang ada dalam
masyarakat secara adil dan penuh perikemanusiaan.
Timbal balik antara masyarakat dan proses politik lebih
dari yang telah dipaparkan, sebagaimana dikerangkakan oleh Maurice Duverger
(1993 : 351) hendaklah mencerminkdn suatu solidaritas antar keduanya. Sebab
pada solidaritas itu, tegas Duverger, merupakan akibat dari struktur komunitas
hidup, dimana setiap individu membutuhkan orang lain di dalam suatu jaringan
hubungan yangsaling masuk dengan yang lainnya.
Dengan kata lain, haruslah dipandang bahwa antara
masvarakat dengan proses politik merupakan. komunitas hidup yakni komunitas
negara yang karena ada keduanya tatanan kehidupan akan berjalan secara normal
asalkan keduanva mencmpatkan dalam posisi sejajar dalam suatu hubungan yang
saling membutuhkan, saling terkait dan saling menentukan. Barangkali proses
politik Indonesia merdeka tak pernah terwujud sampai hari ini apabila
masyarakat saat itu tak membutuhkan kemerdekaan. Kehendak politik melalui tanpa
masyarakat niscaya proses politik akan berjalan hampa. Begitu sebaliknya,
masyarakat saja tanpa adanya proses-proses politik vang dilalui, terutama
diplomasi, tentu Indonesia merdeka akan menjadi sebuah mimpi masyarakat sampai
hari ini.
Onghokham dalam karyanya “Rakyat dan Negara” (1991),
sampai secara tuntas mencoba menelusuri hubungan timbal balik antara proses
politik vang ditempuh oleh negara dengan rakyat (masyarakat) sebagai unsur
kekuatan dominannya. Onghokham dalam karyanya itu sempat mengidentifikasi
beberapa kegagalanperistiwa politik sepanjang sejarah Indonesia yang dirasakan
lagi, akibat peristiwa itu tidak mampu menggerakkan solidaritas masyarakat. Dan
ia pun mencatat, setradisional apapun peristiwa politik yang terjadi karena
mendapatkan dukungan masyarakat secara massif dan peristiwa-peristiwa itu oleh
masyarakat terasa menjadi tanggungjawabnya dan menjadi miliknya.
Begitu dahsyatnya suatu timbal balik antara proses
politik dengan masyarakat, digambarkan oleh Onghokham merupakan basis penentu
keberhasilah politik, yang tidak saja terjadi di Indonesia, namun terjadi pula
pada negara-negara jajahan yang terbebas dari belenggu penjajahan.
Gambaran
Onghokham di atas sekaligus merupakan suatu jawaban yang cukup lugas suatu
hubungan politik dan nnasyarakat dimana hubungan itu terjalin karena terdapat
timbal balik antara politik dan kehendak-kehendak masyarakat, bahkan politik
dijalankan atas dasar kehendak masyarakat itu sendiri.
Artikel Terkait:
BAHAN BACAAN
Alfian, 1986, Masalah dan prospek Pembangunan
Politik Di Indonesia, Jakarta : Gramedia.
Almond, Gabriel A., 1990, A Discipline Devided:
School and Sects in Political Science, New
Park London, New Delhi: Sage Publication.
Balandier, Georges, 1986, Antropologi Politik
Jakarta : Rajawali Pers.
Bottomore, Tom, 1992, Sosiologi Politik,
Jakarta, Rineka Cipta.
Budiharjo, Meriam, 1992, Dasar-dasar ilmu
Politik, Jakarta, Gramedia.