Baca Juga

Dunia politik sangat menunjukkan perubahan yang bervariasi menurut perubahan kekuasaan yang sedang bergulir. Hal ini memungkinkan adanya kekuatan media yang cenderung berubah-ubah secara praktik-konten namun di dalam landasan media itu sendiri tetap merujuk kepada peraturan atau dasar jurnalisme yang berlaku, salah satunya yaitu unsur kebenaran. “Walter Lippmann pada tahun 1920, mengatakan, “Sebuah komunikasi tak bisa merdeka bila kekurangan informasi, karena dengan informasi yang cukup kebohongan bisa dideteksi”. Sistem politik Indonesia rupanya ikut mempengaruhi jalannya media dalam menyajikan pemberitaan, pada masa orde lama sampai orde baru kita hanya menjumpai jumlah media yang sedikit sekali, bahkan yang sedikit itu dikuasai pula oleh pemerintah dalam hal aktifitas kemediaannya.

Praktik komunikasi politik di dalam media selalu mengacu pada sistem politik yang berlaku. Pada suatu Negara yang menganut sistem politik tertutup biasanya bentuk komunikasi politik bermedia-nya mengalir dari atas (penguasa) ke bawah (rakyat). Komunikasi politik semacam itu menerapkan paradigma komunikasi top down untuk mewujudkannya. Hal ini memberikan kesan media hanya menjadi alat “transmisi” kepentingan saja, lain dengan bottom up atau penarikan aspirasi rakat kepada pemerintah. Sistem politik itu sendiri berpengaruh hebat dengan kegiatan media itu sendiri. Komunikasi politik semacam ini banyak dipraktikkan para penguasa ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup. Ketika rezim Orde Lama berkuasa, pesan politik yang mengemuka di media massa pada umumnya berisi konflik, kontradiksi yang seram, dan hiperbola. Pesan-pesan politik semacam itu kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa. Pada era ini, pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan eufemisme. Meski pada era itu berbeda penekanan pesan politiknya, namun hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linier). Pesan-pesan politik sebagaimana mengemuka pada orde lama-baru itu dipandang oleh para pengamat politik masih banyak ditemukan pada era reformasi, terhitung kurangnya peran komunikasi politik bermedia dalam pendekatan bottom up.

Banyak media yang sudah memberikan adanya peran pengawasan ke atas (bottom up) dengan membuat reportase sampai interaktif commincation pada undangan “elit maupun/ pemerintah”. Sejak Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, sistem politik tertutup diganti dengan sistem politik terbuka. Perubahan sistem politik ini idealnya mengubah pendekatan komunikasi politik di dalam media dari satu arah menjadi banyak arah. Pada suatu saat menggunakan pendekatan top down, pada saat lain menerapkan pendekatan bottom up, dan pada kesempatan lain memperagakan paradigma horizontal. Pendekatan mana yang digunakan tergantung siapa yang menyampaikan pesan politik dan kepada siapa pesan itu ditujukan. Muatan pesan juga menentukan paradigma komunikasi mana yang digunakan. Pendekatan tersebut tidak lagi menganggap penerima pesan politik tidak lagi sebagai pihak pasif, menelan begitu saja pesan politik namun ikut aktif dalam memberikan tanggapan atas pesan politik yang disajikan dan disinilah peran media untuk melukakan pengawasan pada suatu pemerintahan.

Sebelum Sistem politik era reformasi-pun memberikan analogi yang tidak ‘sebersih’ yang digembor-gemborkan, media hanya difungsikan untuk melakukan komunikasi politik untuk menarik perhatian masyarakat namun tidak dalam cara penyaluran memperjuangkan kepentingan rakyat. Media adalah korban bisu namun dapat terlihat jelas bagaimana “pembredelan tempo, editor dan detik (eros djarot)” itu terjadi. Namun dengan adanya reformasi media telah menyudahi tidur panjangnya sejak orde lama-orde baru. Kebebasan media dalam memberikan informasi untuk melakukan reportase, verifikasi, penengah konflik dan semacamnya telah dapat berjalan dengan apaadanya tanpa preasure dari pihak lain. Media sebagai pemantau kekuasaan sangatlah berarti di dalam Sistem politik terbukan yaitu Negara dengan landasan demokrasinya seperti Indonesia.

Kesimpulan
:

Sistem politik di Indonesia yang berubah-ubah sangat mempengaruhi gaya komunikasi politiknya. Hal tersebut juga terasa dalam komunikasi politik di media, sistem politik semasa orde lama hingga orde baru mempunyai kecenderungan “tertutup” yang mengakibatkan komunikasi politik di media menjadi top down. Komunikasi politik top down adalah komunikasi dari lini atas (penguasa) kepada rakyat atau pihak dibawah, ciri komunikasi bermedianya adalah satu lini saja, dan bersifat transmision. Sedangkan, pendekatan komunikasi bottom up, dari rakyat untuk melakukan interkasi pada pemerintah tidak begitu terlihat dari era tersebut karena arus komunikasi sengaja dibuat seperti itu (Sistem politik tertutup).

Sistem politik ‘terbuka’ era reformasi menjadikan perombakan komunikasi politik media menuju suatu perbaikan, dimana kebebasan bermedia mulai muncul dan penerima pesan politik dipandang aktif/ tidak pasif lagi. Fungsi media sebagai media komunikasi politik dan pemantau kekuasaan berjalan dengan apaadanya, selain itu media sebagai salah satu aktor politik telah bisa menjalankan fungsi-fungsinya seperti ; reportase, penengah isu politik, mengetengahkan solusi sampai pada sarana publik untuk bersuara-pun bisa berjalan pada era sekarang ini, ciri komunikasi politik bermedia telah terdiri dua arah.

Sedikit permasalahan pada era reformasi ini, yaitu lagi-lagi fungsi komunikasi media dalam ranah politik dari rakyat kepada pemerintah masih terasa kurang (bottom up) dan komunikasi politik horizontal-pun muncul sebagai momok baru yaitu komunikasi antar elit satu dengan elit lain yang horison. Komunikasi horizontal tersebut menunjukkan komunikasi kepentingan elit politik dengan elit lain. Hal ini dilakukan demi kelangsungan strategi politiknya. Suatu pertanyaan apakah komunikasi horizontal itu terdapat kepentingan rakyat?. Ironis memang, kita harapkan Indonesia bisa bangkit dari keadaan ini, namun hal yang bisa kita bisa ambil adalah kepentingan rakyat harus tetap diperhatikan tanpa alasan apapun serta komunikasi politik yang telah ada dapat mencerminkan kebaikan untuk rakyat (Baca: Peran Media Massa Dalam Mempengaruhi Sistem Politik Indonesia).
Artikel Terkait: