Praktik komunikasi politik di dalam media selalu mengacu pada sistem politik yang berlaku. Pada suatu Negara yang menganut sistem politik tertutup biasanya bentuk komunikasi politik bermedia-nya mengalir dari atas (penguasa) ke bawah (rakyat). Komunikasi politik semacam itu menerapkan paradigma komunikasi top down untuk mewujudkannya. Hal ini memberikan kesan media hanya menjadi alat “transmisi” kepentingan saja, lain dengan bottom up atau penarikan aspirasi rakat kepada pemerintah. Sistem politik itu sendiri berpengaruh hebat dengan kegiatan media itu sendiri. Komunikasi politik semacam ini banyak dipraktikkan para penguasa ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup. Ketika rezim Orde Lama berkuasa, pesan politik yang mengemuka di media massa pada umumnya berisi konflik, kontradiksi yang seram, dan hiperbola. Pesan-pesan politik semacam itu kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa. Pada era ini, pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan eufemisme. Meski pada era itu berbeda penekanan pesan politiknya, namun hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linier). Pesan-pesan politik sebagaimana mengemuka pada orde lama-baru itu dipandang oleh para pengamat politik masih banyak ditemukan pada era reformasi, terhitung kurangnya peran komunikasi politik bermedia dalam pendekatan bottom up.
Banyak media yang sudah memberikan adanya peran pengawasan ke atas (bottom up) dengan membuat reportase sampai interaktif commincation pada undangan “elit maupun/ pemerintah”. Sejak Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, sistem politik tertutup diganti dengan sistem politik terbuka. Perubahan sistem politik ini idealnya mengubah pendekatan komunikasi politik di dalam media dari satu arah menjadi banyak arah. Pada suatu saat menggunakan pendekatan top down, pada saat lain menerapkan pendekatan bottom up, dan pada kesempatan lain memperagakan paradigma horizontal. Pendekatan mana yang digunakan tergantung siapa yang menyampaikan pesan politik dan kepada siapa pesan itu ditujukan. Muatan pesan juga menentukan paradigma komunikasi mana yang digunakan. Pendekatan tersebut tidak lagi menganggap penerima pesan politik tidak lagi sebagai pihak pasif, menelan begitu saja pesan politik namun ikut aktif dalam memberikan tanggapan atas pesan politik yang disajikan dan disinilah peran media untuk melukakan pengawasan pada suatu pemerintahan.
Baca Juga
- Pergeseran Paradigma Administrasi Negara Ke Administrasi Publik
- Tahap-Tahap Kebijakan Publik
- Ekonomi Syariah - Sekilas Tentang Perbankan Syariah di Indonesia
- Prinsip Ekonomi
- Pengertian Ilmu ekonomi / Definisi Ekonomi
- Contoh Kebijakan Publik Pusat/Daerah serta Contoh Kasusnya
- Pengertian dan ruang Lingkup Antropologi
- Teori Kebijakan Publik
Kesimpulan:
Sistem politik di Indonesia yang berubah-ubah sangat mempengaruhi gaya komunikasi politiknya. Hal tersebut juga terasa dalam komunikasi politik di media, sistem politik semasa orde lama hingga orde baru mempunyai kecenderungan “tertutup” yang mengakibatkan komunikasi politik di media menjadi top down. Komunikasi politik top down adalah komunikasi dari lini atas (penguasa) kepada rakyat atau pihak dibawah, ciri komunikasi bermedianya adalah satu lini saja, dan bersifat transmision. Sedangkan, pendekatan komunikasi bottom up, dari rakyat untuk melakukan interkasi pada pemerintah tidak begitu terlihat dari era tersebut karena arus komunikasi sengaja dibuat seperti itu (Sistem politik tertutup).
Sistem politik ‘terbuka’ era reformasi menjadikan perombakan komunikasi politik media menuju suatu perbaikan, dimana kebebasan bermedia mulai muncul dan penerima pesan politik dipandang aktif/ tidak pasif lagi. Fungsi media sebagai media komunikasi politik dan pemantau kekuasaan berjalan dengan apaadanya, selain itu media sebagai salah satu aktor politik telah bisa menjalankan fungsi-fungsinya seperti ; reportase, penengah isu politik, mengetengahkan solusi sampai pada sarana publik untuk bersuara-pun bisa berjalan pada era sekarang ini, ciri komunikasi politik bermedia telah terdiri dua arah.